Penulis sering kali mendapati mobil di depan memperlambat jalan dari kewajaran. Pagi hari saat jam sibuk warga berangkat kerja, di ruas jalan tol dari arah Taman Mini menuju pintu gerbang Cililitan, Cawang, mobil di hadapan berjalan perlahan.
Mobil tersebut cukup jauh dengan jarak mobil di depannya, sementara upaya penulis untuk menyalip mengalami kesulitan lantaran di sisi kiri dan kanan kendaraan berjalan lancar dalam kecepatan wajar.
Penulis menduga, sang sopir mobil bersangkutan tengah bicara menggunakan telepon genggam dengan lawan bicara entah dimana. Boleh jadi ia tengah bicara dengan rekanan atau urusan kantor karena bicaranya cukup lama. Dan, dugaan penulis betul. Sembil menyalip dalam kecepatan wajar, penulis menyempatkan menoleh dan terlihat sang sopir yang mengenakan dasi tengah bicara serius.
Pagi hari ruas jalan tol ke arah Semaggi dan Kuningan terlihat padat. Semua orang ingin cepat sampai di kantor masing-masing. Bagi aparatur negeri sipil, telat berarti tunjangan kinerja bakal dipotong. Dengan alasan macet, maka urusan kantor diselesaikan lewat pembicaraan melalui telepon genggam (handphone).
Bagi pengemudi yang berada pada posisi di belakang mobil tengah memperlambat jalan, -lantaran bos pengemudi sendiri,- tentu akan menimbulkan rasa kesal beberapa penemudi di belakangnya. Hanya sedikit di antara pengemudi yang memahami kondisi seorang bos menelepon sambil mengemudi lantaran tengah menghadapi persoalan kantor yang harus diselesaikan saat itu juga.
Tapi, apa pun alasannya, mengemudi sambil menggunakan handphone di dalam mobil beresiko bagi diri sendiri dan orang lain. Kendaraan di depan pun berpotensi ditabrak. Boleh jadi sang bos merangkap mengemudi, ketika melihat mobil di depan sudah dekat, bukan menginjak rem tetapi malah pedal gas.
Bisa jadi seorang yang baru menerima telepon merasa kesal lantaran hasil pembicaraan menambah persoalan. Tidak ditemukan solusi sehingga yang bersangkutan emosi. Karena emosi, jika itu terjadi, membawa perubahan sikap kepada sang sopir. Ya, tadi, menginjak gas bukan pedal rem.
Itu salah satu kasus yang kerap dijumpai di jalan raya. Sesungguhnya, dari arah jauh, polisi lalu lintas sudah bisa menerka gerakan mobil yang pengemudinya tengah beraktifitas dengan gawai. Atau sopir tengah sibuk dengan gerakan mencurigakan lantaran mengunakan handphone. Bahkan gerakan mobil mencurigakan sang sopir tidak memiliki dokumen kendaraan lengkap bisa diketahui.
Jika berkomunikasi, dikenal bahasa lisan dan bahasa tubuh. Untuk lalu lintas di jalan raya, gerakan mobil tidak wajar, berlebihan, atau tidak normal bisa dimaknai sebagai 'gerakan' mobil punya potensi melanggar aturan berlalu lintas. Hal ini adalah bagian dari domain petugas dengan ilmu kepolisian. Polisi wajib mengambil tindakan.
Lantas, bagaimana dengan mendengarkan musik di dalam mobil?
Bagi penulis, sederhana saja. Jika mendengarkan musik dianggap sebagai pelanggaran berlalu lintas, harusnya sudah lama pihak Kepolisian RI membuat aturan bersama dengan Kementerian Perhubungan untuk melarang produsen mobil -- dari kelas teri hingga mewah -- tidak dibenarkan memasang perangkat alat musik (tape recorder dan televisi).