Rekaman video, foto dan kliping surat kabar, majalah dan media lainnya masih dirasakan belum lengkap. Pasalnya, tidak seluruh kegiatan direkam dengan apik. Sistem pengarsipan juga terasa kacau, meski seluruh rekaman di kediamannya sudah memenuhi tiga kamar masing-masing berukuran mewah, 6 x 6 meter.
Bayangkan, untuk menyimpan arsip saja tempatnya demikian luas. Untuk rumahnya sendiri, tak pantas hanya disebut gedongan. Lebih tepat disebut istana. Namun karena Ali Budin, sang pejabat tinggi, merasa tidak puas - paling tidak sudah tiga kali - lalu meminta kepada sekretarisnya mengganti kepala Public Relations (PR) dan para juru potret, kamera dan para penulis yang ditugaskan meliput seluruh kegiatan dirinya.
"Kamu cepret-cepret, tapi tak pernah hasilnya diperlihatkan?" Ali Budin marah kepada juru potretnya di hadapan orang banyak.
Ali memang tergolong manusia narsis. Tak ingin sedikit pun memontum pada kegiatan resminya diabaikan pihak PR. Jurnalis juga harus diundang dan hadir saat kegiatan berlangsung.
Kala jurnalis tak hadir karena isu yang diangkat melulu hal membosankan, tak menarik, Ali Budin marah besar kepada kepala PR.
"Kamu tak bisa kerja sama. Saya minta, semua yang bekerja memiliki loyalitas dengan pimpinan," Ali kembali marah.
Sepekan kemudian, kepala PR sudah berganti. Orangnya supel, pandai dan dari sisi bicaranya dapat dinilai punya kecerdasan di atas rata-rata para pegawai lainnya di lingkungan institusi yang dipimpin Ali Budin. Kebanyakan orang memanggilnya Juedis. Disebut demikian karena ia punya latar belang profesi sebagai jurnalis sadis.
Harapan Ali Budin sebagai pejabat tinggi mengangkat Juedis sebagai kepala PR adalah tidak satu pun kegiatannya luput dari kegiatan pers. Bila perlu kentutnya pun dapat menjadi berita. Bukankah jurnalis pandai memainkan kata-kata, yang tidak menarik menjadi menarik bagi pembaca.
"Saya mengangkat anda, dengan harapan, dapat mempublikasikan seluruh kegiatan. Ini menjadi penting," kata Ali dalam percakapan di ruang kerjanya. Ia pun memberi catatan agar pesan tersebut dapat dilaksanakan.
Hadir saat itu sekretarisnya yang montok. Matanya sering melotot bila tamunya terlalu banyak bicara kepada atasannya sebagai ungkapan rasa tak senang. Bisa jadi, saat tamu keluar, sekretaris kena damprat karena tamu cerewet tidak dibrifing dahulu sebelum menghadap.
Dua pekan Juedis bekerja sebagai kepala PR terasa jengkel. Pasalnya, seluruh kegiatan Ali Budin harus diabadikan dalam foto tercetak. Di era digital, pikir Juedis, tentu sangat nora. Kampungan. Namun karena ia tidak ingin diberi label tidak loyal dengan atasan, seluruh permintaan itu dipenuhi.