Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Di Kompasiana, Keangkuhan Intelektual Kabur

Diperbarui: 2 November 2017   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto | Kompasiana

"Brak," suara keyboard komputer demikian keras aku gebrak.

Belum merasa puas, mouse-nya pun ikut menjadi kurban, aku banting ke atas meja kerja.

Rusak. Meja kerja ikut jadi kurban. Kotor dan berantakan. Beruntung, monitor komputer tidak kena tinju meski tangan kanan sudah mengepal keras.

Beberapa saat kemudian, muncul rasa nyesal, tapi ya sudah terjadi. Menyesal memang tak pernah datang awal, selalu setelah peristiwa pahit terlampaui dengan kerugian menghadang di hadapan. Beruntung, saat itu, tak ada anak isteri menyaksikan kelakuan buruk itu.

Setelah peristiwa itu, aku tak pernah lagi membuka laman yang namanya kompasiana. Kecewa berat. Berat sekali kecewanya. Apa pasalnya, sih?

Sederhana. Ketika membuka akun tak pernah masuk. Praktis tak lagi bisa membuat artikel. Padahal, saat itu, ada peristiwa menarik yang rasanya bisa dituangkan untuk diketahui publik secara luas melalui kompasiana.

Tak ingat peristwa apa itu, tapi sudah menjadi kebiasaan, kala menjumpai peristiwa menarik secepatnya ditulis dan dipublikasikan. Ini prinsip kerja seorang pekerja kuli tinta, kuli disket, kuli dan entah apa lagi kuli. Ada yang menyebut sebagai profesi ratu dunia, pilar kekuatan keempat dalam dunia demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Entah lah, pokoknya banyak sebutan untuk si kuli bermuka jelek dan pemarah ini.

Sebetulnya rada malu mengungkap prihal ini kepada khalayak luas. Namun setelah membaca para penulis Kompasiana menuangkan pengalaman dan memberi kesan-kesannya, saya pun tertarik ikut-ikutan. Urat malu putus dan muncul keberanian untuk mengungkapkan pengalaman itu. Harapannya, pengalaman yang diungkap ini dapat memperkaya wawasan bagi para pembacanya.

Saya memperkirakan tiga bulan tak aktif menulis di Kompasiana setelah memiliki akun pada akhir April 2016. Itu pun yang membuatkan seorang teman, karena saya ditantang untuk mengeritik kementerian tempatnya bekerja. Maklum, gatek -- gagap teknologi -- meski di kantor bekerja lebih banyak bersentuhan dengan komputer.

Followers atau pengikutnya pun dikit. Malu saya nyebutnya di sini, apa lagi jumlah artikel termuat hanya 230. Sebetulnya, lebih banyak dari itu. Tapi, yaitu, ditolak karena tak memenuhi syarat seperti yang ditentukan admin Kompasiana.

Baru bisa membuka akun yang saya miliki di Kompasiana setelah coba-coba membuka komputer milik isteri di ruang kerjanya. Loh, kok bisa dibuka. Setelah itu, ya melaju lagi menulis di Kompasiana dengan terus menerus belajar menulis seperti teman-teman lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline