Kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) sejatinya memperkuat sertifikasi halal itu yang selama ini ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hal ini merupakan salah satu wujud negara hadir memperkuat sertifikasi halal.
Sertifikasi halal selama ini sifatnya voluntary dan ditingkatkan menjadi obligatory, sesuatu diwajibkan atas dasar undang-undang, untuk kemaslahatan seluruh bangsa.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, BPJPH adalah sebagai badan baru di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Hadirnya BPJPH membawa sebuah perubahan besar khususnya dalam pengembangan industri halal yang akan bergulir di Tanah Air, seperti harapan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ketika peresmian BPJPH di Jakarta (11/10/2017) silam.
Sertifikasi halal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Dimulai dari labelisasi atas produk nonhalal oleh Departemen Kesehatan tahun 1976. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan Pada Makanan Yang Mengandung Bahan Berasal Dari Babi.
Surat Keputusan yang ditanda-tangani Menteri Kesehatan Prof. Dr. G.A. Siwabessy ketika itu, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan "mengandung babi" dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.
Konsultan The Fatwa Center Jakarta M. Fuad Nasar menyebut, proses penerbitan Sertifikasi Halal saat itu ditangani oleh MUI dengan terbentuknya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM-MUI) pada 1989. Fondasi awal Jaminan Produk Halal di Indonesia digariskan sejak era kepemimpinan Ketua Umum MUI K.H. Hasan Basri, dengan Ketua LPPOM MUI periode yang pertama ialah Prof. Dr. Ir. M. Amin Aziz dan kemudian Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra.
UU Jaminan Produk Halal mengatur kewenangan penerbitan sertifikat halal oleh pemerintah dalam hal ini Kemenag. Pascaberoperasinya BPJPH nantinya kewenangan MUI tetap penting dan strategis, yaitu memberikan fatwa penetapan kehalalan suatu produk yang kemudian disampaikan kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Sertifikat Halal yang dikeluarkan oleh MUI selama ini tetap berlaku sampai jangka waktunya habis. Sinergi dan kerjasama BPJPH dengan MUI antara lain dalam hal Sertifikasi Auditor Syariah, Penetapan Kehalalan Produk, dan Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Mantan Wakil Sekretaris BAZNAS melihat bahwa semua itu merupakan substansi yang amat penting. Sebab, setiap muslim pada prinsipnya diperintahkan dalam ajaran Islam supaya memilih konsumsi yang halal dan thayyib (baik), atau lebih populer disebut HalalituBaik serta menjauhi yang haram demi untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Produk halal dewasa ini bukan hanya makanan, minuman, obat-obatan, melainkan meliputi produk sandang dan bahkan pariwisata halal. Isu halal dewasa ini menjadi isu ekonomi yang mendapat perhatian luas dan universal, sama seperti isu ekonomi syariah.
Ketua Majelis Ulama Indonesia KH. Ma'ruf Amin mengakui, saat ini sertifikasi halal sudah menjadi 'trend' kehidupan global. Program jaminan produk halal semula berangkat dari upaya perlindungan umat (himayatul ummah) mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak halal. Kini, bukan hanya sebagai perlindungan, jaminan produk halal juga telah menjadi ajang bisnis dunia.