Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Bola Salju, Ahok “Kepleset” dengan Surat Al Maidah

Diperbarui: 13 Oktober 2016   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketua MUI Ma'ruf Amin dan Menag Lukman Hakim Saifuddin bakal repot ngurusi kasus Ahok jika tak cepat diselesaikan (Foto Antara)

 

Bagai bola salju. Begitulah mencermati kasus Ahok, sapaan akrab Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, yang sekali ini terjerembab berawal dari keplesetnya karena  menyebut surat Al-Maidah, pada suatu pertemuan di Kepulauan Seribu, Jakarta.

Ahok sebelumnya tergolong getol menggunakan terminologi Islam seperti sidik, fatonah, tablig dan amanah ketika tampil di atas podium terkait upayanya memerangi tindakan korupsi di lingkungan birokrasi Pomda DKI Jakarta.

Tetapi sekali ini ia terpeleset dengan lidahnya sendiri. Bisa jadi karena ucapannya itu ia ke depan bakal terjerembab. Apakah bisa bangun lagi atau tidak. Hanya Tuhan yang tahu.

Kasus Ahok terkait ucapannya dengan surat Al-Maidah itu sekarang ini tergambar bagaikan percikan api yang kecil, tetapi dapat menghanguskan bangunan besar. Namanya saja api.

Tetapi yang jelas, semua orang jadi sibuk: mengomentari, menganalisis, mencaci hingga pembelaan demi suksesnya Pilkada berlangsung lancer dan Luber Jurdil: memenuhi asas   langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.  

Bisa pula kasus tersebut dapat menggelinding bagai bola salju. Kini dinantikan penyelesaian secara komprehensif sehingga atmosfir “pemanasan” menjelang Pilkada dapat tercipta dalam kondisi kondusif.

Manusia memang tidak dapat steril dari dosa. Setiap insan tidak bisa lepas dari perbuatan salah. Kalimat ini banyak dihafal, tetapi ketika menghadapi dosa orang lain dipandanginya demikian besar. Pernahkah setiap individu selalu tiap hari, tiap jam dan detik mengevaluasi dirinya bahwa ia melakukan perbuatan jauh lebih besar dosanya daripada orang yang dinilainya selalu berbuat kesalahan dan dosa.

Kasus Ahok memang tidak lagi dapat dipandang sebagai perbuatan seseorang selip lidah. Lidah keseleo atau salah mengucap di hadapan ranah publik. Apalagi jika di tengok ke belakang, pria asal Bangka Belitung ini kerap kata-katanya menuai pro dan kontra. Bisa jadi ketika itu Ahok tengah mempersonifikasikan dirinya sebagai centeng Betawi. Dalam perspektif sejarah Betawi, centeng dimaknai sebagai jongos. Penjaga gudang, mandor kebun atau gedongan pemilik para orang kaya pada zaman Kolonial Belanda.

Tapi, sejatinya Ahok adalah Ahok. Ia tampil apa adanya, tak terpengaruh dengan lingkungan apa kata orang. Ia bicara dengan logat Betawi rada kasar, kadang kotor. Untuk menjaga etika, orang menyebutnya ucapan Ahok keluar dari mulutnya dengan bahasa toilet. Bukan mengambil dari bahasa Betawi, yaitu kakus atau jamban. Kadang pula saking kasarnya, bagi kalangan orang Betawi sendiri yang mendengar, terasa ngeri. Sebab, melanggar kesantunan. Sayangnya, manusia seperti Ahok itu tak dapat dibendung hasrat dan nafsunya itu.

Kini kasus Ahok telah memancing kebencian orang banyak kepada dirinya. Meminjam istilah Tjahyo Kumolo, mulutmu adalah harimaumu. Meski ungkapan dari Mendagri itu adalah ungkapan "jadul", tetapi masih terasa aktual bagi siapa pun. Ungkapan itu merupakan nasihat: berhati-hati berucap jangan sampai terjerembab karena perbuatan (ucapan) sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline