Lihat ke Halaman Asli

Edy Supriatna Syafei

TERVERIFIKASI

Penulis

Ahok Vs Jurnalis: Sebuah Kasus Keangkuhan Intelektual?

Diperbarui: 18 Juni 2016   15:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahok ketika bicara dengan wartawan di Balaikota Jakarta

Banyak cara untuk mudah dikenal di kalangan pejabat jika anda sebagai jurnalis.

Tabu bagi seorang jurnalis terlihat bodoh. Jurnalis memang harus cerdas, belajar terus menerus dari lingkungan dan wilayah liputan yang menjadi garapannya.

Maklum 'gawe' jurnalis sering dipindah dari satu instansi ke instansi lain, sehingga selain harus pandai melobi pejabat atau narasumber, juga harus cepat menguasai kebijakan dari masing-masing instansi. Termasuk pula istilah-istilah yang digunakan.

Jika Anda sebagai jurnalis ngepos di Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengerti bidang hukum meski tidak sebagai pakar. Jika ditugasi di kementerian PU, setidaknya harus tahu istilah bidang konstruksi dan keciptakaryaan. Jika di Kementerian Agama setidaknya tahu apa yang dimaksud kuota haji dan istilah istitoah. Jika berada di lingkungan wartawan olah raga, anda juga harus tahu apa yang dimaksud offside dan ngerumput. Bukan ngerumpi. Jika tidak tahu, itu wartawan bodrek namanya. Pun bila diempatkan di lingkungan kepolisian dan kejaksaan, kementerian hukum dan HAM, maka anda harus tahu pasal-pasal yang berkaitan dengan kasus kriminal.

Acara jumpa pers adalah momentum yang tepat bagi seorang jurnalis untuk menunjukan sosok dirinya, dari media mana dan sebagainya. Ajukan pertanyaan dengan suara tegas, jelas dan kritis.

Dengan cara bertanya seperti itu, narasumber terpancing dan mau memberi jawaban dengan jelas pula. Tapi, jika anda tidak tahu duduk persoalannya, jangan sesekali mengajukan pertanyaan pada awal acara. Lebih baik diam. Dengarkan apa yang ditanyakan rekan Anda yang ada di sekitar kepada narasumber. Simak jawaban dan penjelasan narasumber dengan baik.

Jika saja seorang jurnalis tidak tahu persoalan kemudian mengajukan pertanyaan, bisa tidak nyambung. Bisa pula menimbulkan kesan jurnalis itu bodoh. Bertanya saja tidak becus, apalagi untuk mengerti persoalan dan menggali isu baru di pos liputan atau tempat anda mencari berita sehari-hari.

Biasanya, jurnalis junior baru mengajukan pertanyaan tatkala acara jumpa pers menjelang berakhir. Pertanyaan biasanya berdasarkan pesanan redakturnya. Dalam istilah lain dikenal sebagai 'pertanyaan saku'.

Bagi jurnalis atau repoter pemula, dan sok tahu tentang seluk beluk di pos liputannya (seperti di Balai Kota DKI Jakarta) bisa menimbulkan masalah. Bukan hanya pada diri jurnalis itu sendiri juga beresiko pada nama baik media bersangkutan.

Untuk itulah, guna menghindari hal seperti itu, ketika dilakukan rekrutmen tenaga jurnalis atau wartawan, manajemen dari media melakukan seleksi ketat. Setelah lulus tes penerimaan, lantas dilakukan pelatihan jurnalistik dengan materi teknik menulis berita, wawancara, kode etik dan kebijakan redaksional dari media bersangkutan. Tidak peduli dengan latarbelakang pendidikannya, apakah berasal dari fakultas komunikasi, hukum, pertanian atau pemerintahan. Semua harus tunduk pada aturan dan ikut pelatihan.

Tentang pelatihan bagi wartawan pemula sebelum dilepas ke lapangan, tidak semua perusahaan media massa melakukannya. Sangat tergantung kebijakan masing-masing. Karena itu, ketika melakukan peliputan, corak dan warna wartawan dari setiap media bisa dibedakan. Terutama etikanya menghadapi narasumber.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline