Apa sih rahasia Ahok bisa menjadi demikian beken di kalangan warga pemulung sampah? Padahal ia tak pernah blusukan ke kawasan kumuh itu.
Hingga akhir pekan ini nama Ahok, sebutan akrab Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, masih tetap beken atau menjadi populer di kalangan warga Bukit Sampah Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat (Jabar).
Padahal musim kampanye Pilgub DKI Jakarta masih lama. Spanduk para calon gubernur pun tak terlihat di kawasan kumuh itu. Sejauh mata memandang, hanya onggokan dan bukit sampah yang dipercantik peralatan berat excavator warga kuning di atas bikit sampah. Lagi pula mereka yang bermukim di kawasan tersebut bukan warga ibukota. Tak ada satu suara pun yang bisa membantu agar Ahok tetap bercokol di kursi gubernur.
Ahad (29/5/2016) pagi hingga siang, kawasan itu nampak sepi. Gerimis sempat membasahi kawasan tersebut yang menyebabkan lalat nampak makin banyak bertebaran. Tidak terdengar suara burung sebagaimana biasanya di kawasan padang rumput atau padang pasir. Hanya kucing berlarian di permukaan jalan beton ketika truk sampah dari ibukota Jakarta melintas. Debu pun bertebaran di belakang truk. Sebagian dari debu tersebut terdorong angin masuk ke pemukiman warga.
Tidak ada keluhan dari warga. Apa lagi melancarkan protes kepada pihak yang dianggapnya bertanggung jawab, mengapa debu bertebaran tidak dicegah.
Malah ada di antara warga - yang bermukim di rumah terbuat dari tiang bambu, beratapkan seng dan terpal butut, berdinding tripek bekas - melambaikan tangan kepada sang sopir. Mereka bertegur sapa dengan suara keras menggunakan bahasa daerah. Nampak di antara mereka punya pergaulan akrab. Kegembiraan warga dengan pakaian dekil, koyak dan memelas masih nampak di lingkungan kumuh dengan bau seribu satu macam itu.
Di kawasan tersebut bermukim warga dari berbagai daerah. Di antaranya berasal dari Karawang, Indramayu, Banten, Sumatera Selatan dan paling banyak berasal dari Madura. Diperkirakan ada 3 ribu kepala keluarga (KK) dan 156 di antaranya berasal dari sekitar Sumur Batu, Bekasi.
Kesepian di kawasan itu berbeda dengan suasana di base camp Yayasan Satu Untuk Semua. Di situ hadir keceriaan. Terdengar suara gelak tawa dengan sesekali jeritan suara anak kecil melengking. Mereka menyuarakan hafalan yang disampaikan pengajar. Ketika itu, memang anak-anak pemulung berkumpul untuk belajar, berkesenian dan saling membagi cerita dengan rombongan alumni Fakultas Hukum angkatan 20 (FH'20) Universitas Trisakti.
Di tempat itu pula para relawan lokal dan asing ikut aktif memberi pelajaran. Bahkan di situ Bahasa Inggeris pun diajari diselingi pelajaran lainnya. Mereka seolah tak kenal lelah. Bau tak sedap sehari-hari bukan menjadi penghalang untuk mencerdaskan anak bangsa. Di situ, tidak pernah dibicarakan soal persoalan sampah yang kadang menjadi santapan menarik media massa lantaran pernyataan Ahok yang "tajam" ketika menghadapi seterunya.
Namun anehnya, di kalangan bocah pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) nama Ahok cukup beken. Padahal gubernur yang dikenal "garang" ini tak pernah masuk ke kawasan bukit sampah dan menyambangi pemukiman kumuh para pemulung.
Di sini Ahok boleh bangga dengan anak pemulung yang menilainya sebagai gubernur yang tegas, berani dan sering masuk dalam siaran berita di sejumlah televisi.