Di era digital saat ini, banyak remaja mengalami fenomena yang dikenal sebagai 'brain-rot'. Sebagai contoh, seorang remaja bernama Dani menghabiskan berjam-jam setiap hari untuk berselancar di media sosial, yang membuatnya merasa secara mental cepat lelah, kesulitan dalam berkonsentrasi dan gampang terpaku pada hal-hal kecil.
Brain-rot mencerminkan penurunan kognitif akibat paparan informasi yang instan dan dangkal. Fenomena ini sering kali disebabkan oleh overload informasi dari media sosial, yang membuat otak kita rentan terhadap kelelahan kognitif, seperti yang diungkapkan dalam laporan Allcott dan Gentzkow (2017) di Journal of Economic Perspectives.
Kondisi ini memiliki dampak yang lebih serius, karena penggunaan media sosial yang berlebihan bisa menyebabkan masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan dan depresi.
Penelitian oleh Kuss dan Griffiths (2017) menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari pola perilaku yang berulang.
Hubungan Simetrik
Dari literatur akademik dijelajahi, terdapat hubungan dua arah antara brain-rot dan overthinking. Ketika otak terpapar informasi berlebihan, kondisi ini dapat memicu overthinking.
Merujuk pada penelitian Wegner dan Wheatley (2018), overthinking dapat menyebabkan penumpukan stres yang berujung pada penurunan fungsi kognitif, sehingga menciptakan siklus negatif.
Overthinking sering kali menjadi produk sampingan dari proses mental yang tidak efektif.
Dalam konteks Dani, khawatir berlebihan atas hal-hal kecil seringkali berasal dari ketidakmampuan memproses informasi dengan baik. Cheng, Lau, dan Chan (2018) mengemukakan bahwa overthinking adalah efek samping dari anarkisme informasi.