Lihat ke Halaman Asli

Edy Suhardono

Psikolog, Assessor

Orangtua dan Aktifitas Online Anak

Diperbarui: 14 Februari 2016   12:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="www.itweb.co.za"][/caption]Sejalan dengan peningkatan kesadaran orangtua terhadap aktifitas online anak, terjadi penurunan persentase anak yang mengatakan bahwa orang tua mereka “tahu sedikit" atau sama sekali "tidak tahu" tentang apa yang mereka kerjakan. Sebagian besar anak yang mengaku mendapatkan paparan yang tak senonoh adalah mereka yang dengan rentang antara usia 13 sampai 17, diikuti rentang usia antara 10 sampai 11 tahun. Sekitar 17 persen adalah anak laki-laki dan 16 persen adalah anak perempuan (Wolak, Janis, et al. "Unwanted and Wanted Exposure to Online Pornography in a National Sample of Youth Internet Users." Pediatrics, 119 (2007); 247-257)

Yang perlu digarisbawahi ialah bahwa peringatan tentang bahaya dari aktifitas online tak semudah mengingatkan agar anak berhati-hati ketika menghadapi bahaya menyeberang jalan raya. Peringatan, seperti: "Jangan pernah memberikan informasi pribadimu secara online," "Jangan pernah bicara dengan orang asing secara online,"atau "Beritahu ayah/ibu ketika kau menemukan materi yang tidak senonoh" hampir selalu menemui kegagalan.

Kegagalan tersebut berkaitan dengan strategi orangtua dalam mengingatkan yang kurang membedakan anak menurut kekhasan mereka dalam pendisiplinkan diri, pemahaman risiko yang dapat terjadi, dan profil kecerdasan. Secara khusus, orangtua justru harus membuat kesepakatan dengan formulasi yang berbeda antara yang dikenakan pada A yang tinggi dalam kecerdasan Interpersonal tapi rendah di Intrapersonal, misalnya; dibandingkan B yang tinggi di kecerdasan Intrapersonal tapi rendah di Interpersonal.

Jadi, sejak awal strategi orangtua perlu dirancang untuk sama sekali mengabaikan prinsip Keadilan Distributif (dimana keadilan diberlakukan dalam kondisi bahwa apa yang menjadi hak anak A harus setara dengan anak B), misalnya: baik A maupun B tak boleh menggunakan perangkat online di ruang belajar, tetapi kedua anak boleh menggunakannya di ruang keluarga.

Opsi yang perlu dipertimbangkan untuk dikenakan adalah beberapa prinsip keadilan berikut:

1. Keadilan Prosedural, dimana keadilan didasarkan pada asas ‘fair play’menurut apa yang seharusnya didistribusikan, sehingga orangtua secara sengaja memberlakukan ketidakseimbangan dalam hak antara A dan B. Misal: dengan A orangtua membuat kesepakatan untuk menggunakan fasilitas online di ruang keluarga antara pukul 20.00 hingga 21.30; sementara dengan B orangtua membuat kesepakatan untuk menggunakan fasilitas di ruang belajar antara pukul 20.00 hingga 21.00.

2. Keadilan Restoratif/Korektif, dimana keadilan didasarkan pada pertanggungjawaban untuk menempatkan sesuatu kembali seperti yang seharusnya. Dalam contoh, orangtua membuat kesepakatan berikut:

a. jika A menggunakan fasilitas online di ruang belajar, atau tidak tepat waktu di saat mulai atau berhenti sehingga bukan di waktu antara pukul 20.00 hingga 21.30, maka A tidak boleh menggunakan fasilitas online selama dua hari ke depan.

b. Untuk B, jika B menggunakan fasilitas bukan di ruang belajar, atau tidak tepat mulai pukul 20.00 dan berhenti pukul 21.00, maka B tidak boleh menggunakan fasilitas online selama tiga hari ke depan.

3. Keadilan Retributif, dimana keadilan didasarkan pada hukuman yang proporsional dengan tujuan pencegahan pengulangan tindakan. Dalam contoh, orangtua membuat kesepakatan berikut:

a. jika A terbukti tiga kali berturut-turut menggunakan fasilitas online di ruang belajar, atau tidak tepat mulai atau berhenti sehingga bukan di waktu antara pukul 20.00 hingga 21.30, maka A sama sekali tidak boleh menggunakan fasilitas online untuk seterusnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline