Lihat ke Halaman Asli

Dr Edy Purwo Saputro SE MSi

Dosen Program Pascasarjana dan Prodi Manajemen FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta

Harga Beras dan Ancaman Inflasi

Diperbarui: 15 September 2023   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Berita kenaikan harga beras ditentang pedagang karena faktanya bukan kenaikan harga tapi justru ganti harga. Bahkan harga beras per Senin 11 September kemarin sempat naik Rp.60 menjadi Rp.12.760 per kg (jenis medium) dan menjadi Rp.14.390 (premium). Hal ini memberikan gambaran bahwa potensi kenaikannya masih akan terus terjadi, terutama imbas dari el nino, selain faktor kenaikan harga secara global. Artinya ini selaras dengan kasus seperti kenaikan harga BBM sehingga terdampak dari kenaikan harga dunia. Fakta lain yang juga menjadi ironi yaitu kebijakan sejumlah negara eksportir beras yang tidak lagi berkenan melakukan ekspor karena untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh karena itu, kasus perberasan ini hampir sama dengan kasus gandum beberapa waktu lalu saat Ukraina dan Rusia tidak melakukan ekspor. Imbasnya adalah harga terdampak yang kemudian berpengaruh kepada pasokan sehingga keseimbangan hukum permintaan dan penawaran tidak bisa selaras.

Tentu tidak bijak jika kasus perberasan menjadikan el nino sebagai kambing hitam, juga realitas produksi yang tidak membaik, baik secara kuantitas dan kualitasnya. Hal ini secara tidak langsung menegaskan bahwa persoalan kuantitas dan kualitas perberasan mengacu kepentingan yang kompleks termasuk misalnya rendahnya nilai tukar pertanian dan juga tidak adanya regenerasi di sektor pertanian. Betapa tidak, regenerasi pertanian tidak bisa diabaikan karena menjadi faktor kunci terhadap pasokan pangan, sementara daya tarik di sektor pertanian cenderung semakin meredup. Di satu sisi, daya tarik sektor informal di perkotaan lebih menjanjikan terhadap hidup dan kehidupan, sementara di sisi lain fakta penyempitan luas area lahan pertanian juga semakin berkurang.

REALITAS

Penyusutan luas area pertanian tidak bisa lepas dari kepentingan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman sebagai konsekuensi dari kepadatan penduduk. Padahal, di era now sebenarnya menjanjikan untuk pengembangan pertanian secara lebih kreatif dan memberikan hasil yang optimal. Meski demikian nilai tukar pertanian yang rendah, tidak adanya regenerasi di sektor pertanian, terjadinya penyusutan luas area pertanian dan juga faktor cuaca el nino termasuk ancaman siklus tahunan kemarau - banjir menjadi problem utama dibalik kuantitas dan kualitas dari hasil pertanian pangan. Hal itu belum lagi fakta persoalan harga pupuk, ancaman hama tikus dan gagal panen karena faktor lainnya yang kemudian berdampak sistemik terhadap pasokan beras ke pasar.

Fakta pemenuhan kebutuhan beras cenderung akan meningkat sebab periode September - Oktober pemerintah menyalurkan bantuan beras 210 ribu ton per bulan untuk 21,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM, perhitungan setiap KPM akan menerima 10 kg beras). Mekanisme penyaluran ini adalah kedua setelah pada Maret -- Mei sudah dialokasikan. Kebijakan ini diharapkan mampu meredam laju inflasi, terutama dari sektor pangan dan data BPS menegaskan inflasi Agustus sebesar 3,27% (year-on-year/YoY). Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan pasokan beras untuk 3 bulan mendatang dan argumen dari pemerintah untuk cadangan beras masih aman mencapai 2 juta ton (rincian 1,6 juta ton tersedia di gudang Bulog dan sisanya 400 ribu ton beras diimpor).

KOMITMEN

Ancaman inflasi sektor pangan harus diantisipasi dan harus didukung insentif pertanian, dan pembangunan - pengembangan sarpras pertanian pangan, termasuk intensifikasi dan ekstensifikasi, selain mempertahankan areal pertanian agar tidak habis untuk perumahan dan permukiman. Tantangan di tahun 2023 menjadi kompleks apalagi ada target produksi komoditas utama tahun 2023 yaitu: padi 56,08 juta ton, jagung 23,21 juta ton, kedelai 0,55 juta ton, bawang merah 1,71 juta ton, cabai 2,93 juta ton, bawang putih 45,45 ribu ton, tebu 37,15 juta ton, kopi 810,95 ribu ton, kakao 782,01 ribu ton dan daging sapi kerbau 465,14 ribu ton.

Perbandingan target tahun 2022 padi 55,20 juta ton, jagung 20,10 juta ton, kedelai 0,20 juta ton, bawang merah 1,64 juta ton, cabai 2,87 juta ton, bawang putih 91 ribu ton, kakao 780,90 ribu ton, kopi 795,45 ribu ton, kelapa 2,87 juta ton, gula tebu 2,3 juta ton, daging sapi/kerbau 444,55 ribu ton. Target itu juga mempertimbangkan ketidakpastian, inflasi global dan perang Rusia -- Ukraina yang berdampak sistemik. Hal ini diperkuat argumen FAO bahwa indeks harga pangan global cenderung rentan terdampak perang Rusia - Ukraina. Pada 2023 perlu fokus peningkatan produksi, nilai tambah, dan daya saing pertanian (memperhatikan komoditas andalan, karakteristik, dan kebutuhan daerah masing-masing sebagai strategi kearifan lokal).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline