Sumber : google.com
Kaleng adalah salah satu dari hasil akhir pengolahan bauksit
Judul di atas menggambarkan hal sebenarnya yang pernah terjadi di pulau Pangkil Bintan, Kabupaten Bintan di Provinsi Kepulauan Riau.
Pernah beberapa kali, saat memancing rawai (pancing dengan mata kail berseri) di pulau Pangkil, hasil yang menyangkut di mata kail malah batu bauksit. Ikan yang diharapkan terpancing ke mata kail, malah batu bauksit yang didapatkan. Desa Pangkil merupakan satu daerah pulau di Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan yang dihuni kurang lebih 405 Kepala Keluarga pada tahun 2013. Penduduknya 95 persen menggantungkan hidup sebagai nelayan.
sumber :abdulrasyiddaulay.wordpress.com/2013/02/26/pancing-dilempar-bauksit-yang-dapat/
Sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Bintan nomor 2 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan Tahun 2011-2031 pada pasal 14 ayat 3 huruf g disebutkan “pengembangan areal labuh jangkar di perairan Pulau Telang (Mantang), Pulau Pangkil (Teluk Bintan), perairan Tanjung Uban (Bintan Utara), dan perairan Teluk Sumpat Pengudang (Teluk Sebong).
Tujuan perda ini sebenarnya adalah untuk mengembangkan sistem transportasi laut di Kabupaten Bintan yang ditujukan untuk mendukung sistem produksi, sistem pergerakan penumpang dan barang dengan kegiatan sistem perekonomian antar kawasan dan regional.
Dengan ditetapkannya pulau pangkil menjadi areal labuh jangkar, maka semua kapal dapat melabuhkan kapalnya di pulau pangkil termasuk kapal tongkang yang membawa ber ton-ton bauksit. Hal ini juga mengakibatkan perubahan struktur dasar laut di sekitar pulau pangkil. Yang paling parah, ada tiga lokasi perairan yang dikenal nelayan sebagai lubuk udang di musim angin utara kini menjadi lokasi yang menakutkan. Yakni lubuk 86, Perairan Mubut dan Karang Batak. Struktur dasar lautnya dipastikan nelayan sudah berubah, dari dulunya berupa pasir halus menjadi tumpukan batu-batu bauksit yang menyerupai karang. Akibatnya, jaring pun tak bisa lagi didekatkan.
Konon nama lokasi Lubuk 86 muncul karena ada seorang nelayan yang mendapatkan udang mencapai 86 kilogram ketika itu. Sejak itu pula, nelayan terbiasa menyebut lokasi itu Lubuk 86.