Lihat ke Halaman Asli

edy mulyadi

Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

Peran Media dalam Literasi Kinerja BUMN

Diperbarui: 3 Oktober 2018   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Banyak orang beranggapan jadi petinggi BUMN adalah anugrah. Gaji tinggi, fasilitas berlimpah, bonus-bonus dan tantiem selangit. Seabreg karunia tadi kian terasa legit, karena, konon, semuanya hampir pasti diperoleh walau kinerja manajemen pas-pasan, bahkan di bawah banderol.

Benar begitu? Bisa iya, bisa juga tidak. Pastinya, tidak semua BUMN mampu mengguyur pejabatnya dengan gaji dan fasilitas yang berlimpah-ruah. Faktanya, banyak juga BUMN yang nasibnya hidup segan mati tak mau. Kalau sudah begini, boro-boro  mampu menggerojok manajemen dengan pelbagai kenikmatan tadi. Bisa bertahan hidup saja sudah syukur banget.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri ada juga manajemen BUMN yang bermandi kesenangan. Biasanya, ini terjadi karena skala BUMN memang termasuk raksasa dengan keuntungan triliunan rupiah saban tahun. Direksi dan komisaris bank-bank pelat merah bisa dikatakan mengalami nasib seperti ini. Begitu juga dengan sejumlah BUMN raksasa yang bisnisnya menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertamina dan PLN barangkali masuk dalam kategori ini.

Tapi nanti dulu. Statusnya sebagai BUMN, apalagi yang usahanya menyangkut hajat hidup orang banyak, sering sulit lepas dari politik. Rezim yang berkuasa sering menggunakan BUMN kategori ini untuk kepentingan politik mereka. Kebijakan satu harga BBM dari Sabang sampai Merauke, misalnya, jelas menebarkan aroma politik yang menyengat. Begitu juga dengan target elektrifikasi seluruh wilayah NKRI hingga 99% pada 2019.

Buah simalakama

Pada titik ini, posisi manajemen sering ibarat berhadapan dengan buah simalakama. Dimakan bapak mati. Tidak dimakan, ibu mati. Melaksanakan kebijakan BBM satu harga jelas membuat Pertamina kudu merogoh kocek lebih dalam. Maklum, ongkos angkut BBM sampai ke pelosok Indonesia jelas tidak sama dengan di kota-kota besar.

Itulah sebabnya, baru beberapa bulan melaksanakan program ini, neraca Pertamina langsung kebakaran. Pada periode Januari-Februari 2018 saja, Perseroan rugi sebesar Rp3,9 triliun saat rezim ini menerapkan kebijakan BBM satu harga. Padahal, kewajiban ini baru berlangsung 'seumur jagung'. Angka itu muncul dari banyaknya ongkos yang jadi beban. Antara lain, ongkos operasional, produksi, serta ongkos distribusi program BBM satu harga.

Dengan risiko rugi seperti itu, akankah Pertamina tetap melaksanakan penugasan BBM satu harga? Yang pasti, beberapa waktu lalu beredar kabar satu harga BBM di beberapa daerah terpencil itu hanya berlangsung beberapa waktu. Usai diresmikan dan Presiden Jokowi pulang ke Jakarta, beberapa hari kemudian harga BBM kembali melangit.

Beberapa berita soal ini di antaranya adalah, "Kata Tokoh Papua, Harga BBM Hanya Turun Saat Jokowi Blusukan ke Papua" dan "Papua Ungkap Harga BBM Masih Tinggi di Papua, Ini Reaksi Pertamina dan Tantangan dari Jokowi

Lebih mengenaskan

Bagaimana dengan PLN? Nasibnya bisa dikatakan lebih mengenaskan ketimbang Pertamina. Banyak pihak langsung mengapresiasi Pertamina saat BUMN itu menjalankan penugasan BBM satu harga. Lalu, ketika mengetahui Pertamina jadi babak-belur karenanya, mereka pun menaruh empati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline