Lihat ke Halaman Asli

edy mulyadi

Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

"Crumb Rubber" Dicabut dari DNI, Tak Cermat Jadi Kiamat

Diperbarui: 16 Maret 2018   14:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Entah apa yang ada di benak Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menyatakan niatnya mencabut crumb rubberdari daftar negatif investasi (DNI). Kalau hasrat menteri yang juga Ketua Umum Partai Golkar ini sukses, maka sebentar lagi bakal banjir invastasi asing ke industri karet remah ke dalam negeri.

Saya mencoba berselancar di dunia maya mencari motivasi yang melatarbelakangi niat Airlangga. Sayangnya, tidak ditemukan alasan lain kecuali meningkatkan investasi. Pak menteri sama sekali tidak menyebut kapasitas industri karet kita atau daya serapnya seperti apa. Termasuk juga tidak menyinggung harga karet alam yang terus terjun beberapa tahun terakhir, sehingga membuat nasib petani kian terpuruk saja.

Bahwa kita butuh investasi untuk menggulirkan roda perekonomian dan menggenjot pertumbuhan, sudah pasti iya. Tapi itu mestinya tidak serta-merta kita jadi grasa-grusu apalagi sampai ugal-ugalan mengundang asing masuk. Soal industri crumb rubberalias karet remah, misalnya. Jenis investasi industri ini tidak canggih-canggih amat. Teknologi yang dibutuhkan terbilang sederhana. Begitu juga modal yang diperlukan terbilang kelas ecek-ecek saja.

Inilah yang menjelaskan mengapa dari 157 perusahaan crumb rubberyang ada, 96 di antaranya adalah penanaman modal dalam negeri (PMDN) alias milik swasta nasional. Sedangkan sisanya yang 61 perusahaan adalah penanaman modal asing (PMA) dan atau terafiliasi asing. Tapi kendati jumlah mereka lebih sedikit, kontribusi ekspornya mencapai 63,1%. Sedangkan perusahaan lokal yang 96 unit harus puas dengan 36,9% sisanya.

Data lainnya menyebutkan, total kapasitas terpasang industri crumb rubbernasional saat ini mencapai 5,6 juta ton. Sayangnya, ketersediaan karet alam sebagai bahan baku hanya 3,6 juta ton. Industri kita masih kekurangan pasok karet 2 juta ton. Itu sebabnya utilisasi pabrik-pabrik itu hanya berkisar 60% alias tidak efisien.

Nyaris sukses

Entah disadari atau tidak, rencana pencabutan industri karet remah dari DNI bakal memuluskan grand strategy asing untuk menguasai industri karet nasional. China, khususnya, sangat agresif ekspansi ke negara produsen karet untuk mengamankan rantai pasokan bagi industrinya. Asal tahu saja, konsumsi karet China sudah mencapai 4,5 juta ton, jauh melampaui Amerika Serikat yang selama ini dianggap konsumen terbesar, yaitu 1,2 juta ton.

Strategi asing untuk melakukan penetrasi besar-besaran nyaris sukses saat Paket Kebijakan Ekonomi ke-10 digulirkan, 11 Februari 2016 silam. Lewat Paket Kebijakan Ekonomi ke-10 itu, Pemerintah menganulir Perpres nomor 39/2014 tentang DNI yang di antaranya masih mencantumkan crumb rubber. Namun, untungnya beleid tadi tidak lahir sendiri. Dia membawa 'adik kembar' berupa Perpres nomor 44/2016 dan Permen Perindustrian nomor 09/M-IND/PER/3/2017.

Intinya, berdasarkan dua ketentuan itu pembukaan industri ini kepada asing disertai sejumlah catatan. Di antaranya harus terintegrasi dengan pengembangan kebun karet sendiri yang mampu memasok sekurangnya 20% dari kebutuhan, dan 80% bahan baku sisanya harus dipenuhi melalui kemitraan. Syarat lainnya, dari 80% kemitraan tadi, sedikitnya 20% di antaranya harus dalam bentuk inti-plasma.

Sungguh ciamik semangat yang ada dalam Perpres 44/2016. Nuansa melindungi industri lokal nyaris tak tercium di sini. Yang ada justru program penambahan produksi karet alam lewat penambahan lahan perkebunan. Spirit lain yang ditonjolkan adalah, adanya upaya mengangkat petani lokal dalam produksi dan kemitraan, yang ujung-ujungnya diharapkan kesejahteraannya pun bakal naik.

Perpres 44/2016 ini akhirnya menjadi palang pintu yang menghalangi asing menyerbu. Tapi asing tidak kekurangan akal. Maka dilancarkanlah jurus lain, yaitu mengakuisisi perusahaan milik PMDN dan PMA oleh investor dari China dan Thailand.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline