Oleh Edy Mulyadi*
Hari-hari ini adalah hari-hari yang amat menegangkan bagi petani padi Indonesia. Pasalnya, seperti kata Menteri Perdagangan Engartiasto Lukita, 500.000 beras impor bakal masuk pada pekan keempat Januari ini. Kalau rencana ini mulus, maka petani kita tinggal menghitung hari menuju sempurnanya penderitaan.
Menjadi petani di negeri ini memang memerlukan daya tahan dan kesabaran ekstra. Petani nyaris tidak mungkin kaya. Pangkalnya, kebijakan perberasan dari para pengelola negeri cenderung tidak berpihak kepada petani. Contohnya, ya sekarang ini. pemerintah berencana impor 500.000 ton beras justru menjelang panen raya. Jadi, kalau petani sanggup menjalani profesi (takdirnya?) selama puluhan tahun, tak pelak lagi, itu karena mereka punya daya tahan ekstra.
Lalu bagaimana dengan kesabaran ekstra? Sebagai rakyat, wajar dan bisa dipahami jika mereka berusaha memperbaiki nasibnya. Jangan tanya soal kerja keras, petani kita sudah bekerja sangat keras. Maksud saya, memperbaiki nasib di sini adalah dengan menyuarakan aspirasinya. Jadi wajar dan normal banget kalau petani menolak beras impor.
Sejatinya, teriakan petani yang menolak beras impor itu sangat nyaring. Ditambah dengan sikap serupa dari banyak kepala daerah, teriakan itu sudah sangat gemuruh. Tapi entah bagaimana dan apa sebabnya, Pemerintah bagai buta-tuli. Tetap ngeyel dengan rencana impor beras tadi.
Degil dan arogan
"Beras saya impor. Enggak usah (perdebatkan), karena itu diskresi saya," kata Mendag Enggar di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (12/1) silam.
Pernyataan Enggar ini jelas menunjukkan sikap degil dan arogan penguasa. Bagaimana mungkin seorang menteri bisa berkata demikian untuk keputusannya yang menyangkut hajat hidup begitu banyak orang? Kalau Enggar, misalnya, cuma seorang tukang semir sepatu di terminal bus, dia bebas saja menentukan semir merk tertentu yang menjadi pilihannya. Orang lain dilarang protes. Kalau konsumen tidak suka dengan merk semir yang digunakannya, mereka boleh mencari tukang semir sepatu lainnya.
Tapi ini Enggar kan menteri perdagangan. Keputusan impor beras yang diambilnya sudah pasti bakal memukul petani. Mosok dia bisa berkata searogan itu? Memang petani dan rakyat Indonesia boleh dan bisa memilih Mendag lain kalau tidak suka dengan Enggar? Mikir dikit lah...
Lebih seru lagi, keputusan Mendag yang ngotot impor beras itu ternyata sama sekali tidak didukung data akurat. Pada Raker dengan Komisi VI DPR, Kamis (18.01) pekan silam, dia mengaku belum mengantongi data beras secara lengkap. "Masih banyak gudang yang belum melapor," ujarnya.
Sungguh ironi dan tragedi besar. Ngotot mengimpor beras menjelang panen raya ternyata hanya berdasarkan dugaan-dugaan. Atau, jangan-jangan seperti diduga banyak pihak, impor beras hanya untuk mengejar komisi para pemburu rente yang berkolaborasi dengan penguasa culas? Satu hal yang pasti, impor beras kali ini, sekali lagi, menunjukkan bagaimana para pejabat publik kita mengelola negara secara serampangan.