Oleh Edy Mulyadi*
Di ujung pergantian tahun rakyat dihajar dengan melambungnya harga beras. Hujan berkepanjangan yang mengguyur sejumlah sentra produksi, menjadi penyebab anjloknya produksi padi. Ujung-ujungnya, pasokan ke pasar jauh berkurang dan harga pun melambung.
Gagal panen melanda sejumlah daerah penghasil padi. Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung dalam dua pekan terakhir pasokan padi sangat terbatas. Harga gabah dan beras melonjak. Usaha penggilingan padi skala kecil bergelimpangan. Mereka kehabisan gabah. Kalau pun masih ada yang beroperasi, umumnya jauh di bawah kapasitas normal.
Benarkah alam jadi satu-satunya penyebab? Dalam gonjang-ganjing perberasan, sejatinya kebijakan pemerintah juga punya peran penting. Tahun ini, 'bencana' itu pun dipicu adanya kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan pemerintah.
Di lapangan, matematika HET beras medium yang Rp9.450/kg tidak bisa diterapkan. Harga beli gabah kering panen (GKP) dengan rendemen 50-52% kini sudah menembus Rp5.000/kg. Akibatnya, ongkos produksi beras di tingkat penggilingan menyentuh Rp 9.600-Rp 10.000 per kg. Dengan kalkulasi seperti ini, bagaimana mungkin mereka bisa menjual beras tidak melewati HET? Data Kementerian Perdagangan malah menyebut harga rata-rata beras medium nasional telah mencapai Rp10.845 per kg.
Salah urus
Dari sini terasa ada yang salah urus. HET telah memukul petani dengan telak. Kalau sudah begitu, jangankan menjadi sejahtera apalagi kaya raya, untuk sekadar menutupi biaya produksi pun petani sudah babak-belur.
Fakta ini sekali lagi menunjukkan, bagaimana kemiskinan di negeri ini terjadi karena kebijakan yang keliru. Entah dari mana hitung-hitungan yang dibuat para pejabat publik tentang HET, yang pasti kebijakan tersebut telah (makin) memiskinkan petani dan pengusaha penggilingan padi.
Dengan temuan seperti ini, tidak mengherankan kalau ekonom senior Rizal Ramli menyatakan menjadi petani adalah jalan menuju kemiskinan. Hal itu akan terus terjadi bila Pemerintah tidak mengubah kebijakan terkait petani dan produk pangan. Seharusnya, lanjut Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) era Presiden Gus Dur ini, Pemerintah menetapkan pricing policy yang tepat, yaitu yang menguntungkan petani namun tidak memberatkan rakyat pada umumnya sebagai konsumen.
Perihnya kehidupan tidak hanya dialami petani padi, tapi terjadi pada hampir semua produk pertanian. Pasalnya, apa pun yang dihasilkan petani, harga paska panennya diserahkan bulat-bulat pada mekanisme pasar. Saat hasil panen dibawa ke pasar, harganya jatuh. Petani tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.
"Mestinya Pemerintah melindungi petani. Caranya, tetapkan harga pasar produksi yang menguntungkan petani. Jangan biarkan selama puluhan tahun petani terus merugi dan dijerat kemiskinan," ujar Rizal Ramli dalam diskusi dengan masyarakat petani Komunitas Selaras Alam dan para pendidik pesantren di Agam, Sumbar, 5 November 2017 silam.