Lihat ke Halaman Asli

edy mulyadi

Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

Mendongkrak Daya Beli, Melambungkan Ekonomi

Diperbarui: 20 Desember 2017   09:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Oleh Edy Mulyadi *

Benarkah konsumsi publik turun? Silang pendapat perkara ini sepertinya belum segera berkesudahan. Masing-masing pihak keukeuh dengan pendapatnya. Pemerintah termasuk dalam gerbong penolak pendapat ini. Sejumlah menteri ekonomi beranggapan, konsumsi publik tidak turun. Yang terjadi hanyalah shifting dari belanja offline ke online.

Tapi, ketimbang sibuk ngeles dan menumpuk berbagai dalih, jauh lebih baik Pemerintah fokus menggenjot konsumsi publik. Bukankah selama ini konsumsi dalam negeri terbukti menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi yang utama? Tahun ini saja, kontribusinya diperkirakan mencapai 58%.

Bagaimana caranya? Ekonom senior Rizal Ramli punya resep jitu. Dari sisi supply, Pemerintah harus berupaya menekan harga berbagai kebutuhan pokok serendah mungkin. Pasalnya, selama puluhan tahun rakyat Indonesia dipaksa membayar harga kebutuhannya lebih mahal daripada semestinya.

Sudah bukan rahasia lagi, bahwa produk pangan di Indonesia dikuasai kartel. Masyarakat menjuluki mereka sebagai Tujuh Samurai. Tapi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu menyebut pelaku kartel sebagai begal. Samurai adalah sebutan para ksatria Jepang yang memiliki sifat-sifat terpuji. Sebaliknya para pelaku kartel telah merugikan negara dan menyengsarakan rakyat dengan model bisnis yang sangat tercela.

"Ganti sistem kuota impor dengan tarif. Karena sistem kuota hanya dinikmati segelintir pelaku impor bermodal raksasa. Mereka inilah yang mendikte harga. Dengan keuntungan sangat besar yang diperoleh, para begal menyogok pejabat untuk terus memberi privilege alokasi kuota impor," ujar Rizal Ramli.

Sistem tarif akan membuka peluang yang sama kepada semua pihak. Dengan begitu, sumber pasok bahan pangan lebih banyak dan variatif. Akibatnya harga berbagai komoditas tadi bisa diturunkan sangat signifikan. Rakyat dapat membeli lebih banyak karena harganya lebih terjangkau. Kalau sudah begini, ujung-ujungnya konsumsi publik ikut terdongkrak dan ekonomi melambung lebih tinggi.

Pompa kredit

Selain memperbaiki sisi supply, konsumsi publik juga bisa dikerek dengan meningkatkan permintaan. Caranya, berdayakan ekonomi masyarakat, khususnya kalangan menengah-bawah. Untuk itu, dari sisi moneter, Pemerintah harus mampu menggenjot kredit hingga mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi rakyat.

Ban Indonesia melaporkan pertumbuhan kredit pada September 2017 mencapai 7,9% year on year. Angka ini lebih rendah dibandingkan Agustus yang 8,3% (yoy). Itulah sebabnya BI kembali merevisi proyeksi pertumbuhan kredit hingga akhir tahun menjadi 8%. Awal tahun silam, BI memprediksi pertumbuhannya bisa mencapai 10%-12%. Sebelumnya BI juga telah mengoreksi target menjadi di kisaran 8%-10%.

Ini jelas sangat tidak memadai. Harusnya Pemerintah menggenjot rata-rata nasional minimal jadi 15%, baru ekonomi menggeliat dan bergairah lagi. Tentu saja, perbankan nasional harus tetap prudent. Mengobral kredit secara serampangan sama saja mengundang hantu non-performing loan (NPL) yang amat mengerikan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline