Lihat ke Halaman Asli

edy mulyadi

Jurnalis, Media Trainer,Konsultan/Praktisi PR

Blok Masela, Antara Bemo dan Bus Trans Jakarta

Diperbarui: 18 Maret 2016   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh Edy Mulyadi*

Pekan-pekan ini Badu sedang ‘memanen’ tudingan dari sejumlah pihak sebagai manusia yang mencla-mencle alias tidak konsisten. Semua bermula dari pilihannya mengangkut penumpang dari Kota ke Blok M. Ya, sudah sebulan ini ini dia menjadi pengemudi Trans Jakarta koridor 1. Padahal, selama lebih dari 17 tahun dia setia membawa penumpang rute Bendungan Hilir alias Benhil-Tanah Abang. Dengan bemo kebanggaannya yang sudah uzur, Badu dan penumpangnya harus ikhlas menempuh jarak yang menurut google maps kurang dari 2,5 km itu, dengan durasi lebih dari setengah jam.

Nah, alih profesi dan alih rute tersebut yang membuahkan kritik, juga hujatan. Alasannya, ya itu tadi, Badu mencla-mencle. Harusnya dia konsisten. Sekali bemo ya selamanya tetap bemo, dong. Harusnya, jika sudah berada rute Benhil-Tanah Abang mbok yao jangan berganti rute lain.

Tapi Badu punya alasan yang pas untuk menepis berbagai kritik dan hujatan. Alasannya, antara lain, tidak mungkin dia bertahan menyusuri rute Benhil-Tanah Abang dengan menggunakan Trans Jakarta. Kalau pun dia nekat, aturan yang ada tidak mengizinkan hal itu terjadi.

Alasan berikutnya, kebutuhan hidupnya juga sudah lebih besar dibandingkan 17 tahun silam, saat dia pertama kali menyetir bemo. Hanya mengandalkan bemo tuanya untuk mengais rejeki guna memenuhi kebutuhan hidup di ibu kota, rasanya nyaris mustahil.  Jadi, (terpaksa, lah) dia menyingkirkan bemonya dan mengganti dengan bus Trans Jakarta.

Alhamdulillah, penjelasan sederhananya itu mengena. Teman-teman yang sebelumnya menghujani dia dengan kritik dan cemooh, mulai memahami. Bahkan banyak di antaranya yang justru mendukung langkahnya tersebut. Kini dia bisa menekuni profesi barunya dengan tenang dan senyum makin terkembang.

Cerita tentang si Badu di atas bisa fakta, bisa juga fiktif. Namun, baik fakta maupun fiktif, pesannya sama. Tidak mungkin memaksa orang untuk tetap konsisten dengan situasi dan kondisi yang berbeda atau berubah. Justru salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lainnya adalah kemampuannya melakukan adaptasi.  Bukan cuma itu, dengan akal budinya manusia malah dianugrahi kemampuan untuk ‘menaklukkan’ keadaan dan tantangan menjadi peluang.

Kalau para pengeritik Badu bisa dibuat mengerti bahkan mendukung dengan penjelasan sederhana, tenyata itu tidak terjadi pada para pengeritik Haposan Napitupulu. Tenaga Ahli bidang energi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) itu tengah menuai kritik dan hujatan. Pasalnya, dulu dia mendukung pengembangan lapangan gas abadi Masela dengan pembangun kilang laut alias floating  (FLNG) plant atau mencla-mencle. Namun, kini Haposan balik badan, jadi pendukung kilang darat alias anshore.

Gonta-ganti POD

Para pengritik itu adalah kubu Jusuf Kalla (JK), Sudirman Said, dan teman-temannya yang selama ini gigih memperjuangkan kilang apung di laut. Mereka sibuk menebar opini sekaligus stigma, bahwa Haposan tidak konsisten karena sekarang ikut langkah Rizal Ramli sebagai bos barunya. Padahal, dulu, ketika masih duduk sebagai pejabat SKK Migas, justru Haposan yang mengusulkan plan of development (POD) lapangan Abadi blok Masela dengan skenario kilang mencla-mencle.

Saya sudah menghubungi Haposan untuk perkara ini. Doktor geologi perminyakan lulusan University of Texas itu ternyata punya penjelasan yang masuk akal terkait perubahan sikapnya tadi. Pastinya, dia bukan sedang mencla-mencle, apalagi hanya karena mengikuti kemauan Rizal Ramli.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline