Oleh Edy Mulyadi*
Selasa silam (18/11) Bank Indonesia (BI) melaporkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia hingga akhir triwulan III 2014 kembali naik sebesar US$6,1 miliar. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2014 tercatat sebesar US$286,2 miliar. Bila dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya, posisi ULN melonjak US$29,4 miliar.
Dengan kurs Rp 12.146/US$, jumlah peningkatan utang yang US$6,1 miliar ini setara dengan Rp 74 triliun. Artinya, sampai akhir triwulan III, total ULN kita tercatat US$292,3 miliar. Jika dihitung dengan kurs yang sama, jumlah itu senilai lebih dari Rp3.550 triliun. Sungguh jumlah yang superjumbo!
Angka-angka tersebut adalah utang yang dibuat pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Bagaimana kira-kira protret utang Indonesia ke depan di bawah Presiden Jokowi?
Melihat rekam jejak Jokowi ketika memimpin Jakarta, sepertinya jumlah utang itu akan terus membengkak. Bayangkan, hanya dalam tempo dua tahun saja, utang luar negeri provinsi DKI Jakarta sudah mencapai Rp35 triliun. Dana asing itu digunakan untuk membiayai berbagai megaproyek di Jakarta.
Jumlah tersebut tidak termasuk rencana utang baru sebesar 3,4 triliun yen untuk Rencana Induk Metropolitan Priority Area (MPA) hingga 2020. yang bersumber dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang dikemas dengan Public Private Partnership (PPP).
Kurangi utang luar negeri
Mengapa setiap rezim yang berkuasa di negeri ini punya hobi sama? Mereka sangat bernafsu menjaring sebanyak-banyaknya utang. Hanya ada dua Presiden yang tidak membuat utang baru. Mereka bahkan mengurangi jumlah utang yang ada. Pertama, Presiden Habibie, yang menurunkan ULN Indonesia US$3 millar hingga menjadi US$148. Yang kedua, Presiden Gus Dur, ULN anjlok US$9 miliar, menjadi US$139 miliar.
Kebijakan Presiden Gus Dur yang mengurangi ULN dalam jumlah cukup berarti itu tidak lepas dari peran Menko Perekonomian Rizal Ramli. Buat ekonom lulusan Boston University ini, utang luar negeri bukan menjadi satu-satunya sumber pendanaan bagi pembangunan. Sebaliknya, dia justru melihat ULN, apalagi dalam jumlah besar, adalah pintu masuk bagi neoliberalisme yang berujung pada neokolonialisme.
Paling tidak, begitulah wejangan Soekarno bagi bangsa ini sejak awal kemerdekaan. Presiden pertama tersebut mengingatkan bahwa setelah proklamasi 17 Agustus 1945, para kolonialis tidak akan berhenti kembali untuk menjajah. Namun kelak mereka tidak datang dengan gubernur jenderal, tentara, dan perlengkapan perang lain. Mereka akan datang dengan berbagai utang berkedok bantuan ekonomi.
Soekarno benar. Fakta menunjukkan negara-negara yang berutang, apalagi dalam jumlah besar, justru tidak pernah berhasil menyejahterakan rakyatnya. Mereka akhirnya terjebak pada perangkap utang atau debt trap. Setiap tahun negara-negara itu harus mengalokasikan anggaran sangat besar untuk membayar utang-utang tadi. Jumlah utang baru yang ditarik selalu lebih kecil dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang dibayar.
Banyak sumber dana lokal
Rizal Ramli juga sekaligus membantah ‘dogma’ yang mengatakan, bahwa membangun hanya bisa dilakukan dengan utang. Para penganut paham ini berpendapat, utang sangat dibutuhkan karena sumber dana di dalam negeri sangat terbatas.
Menurut dia, sejatinya masih teramat banyak sumber pendanaan di dalam negeri yang bisa memperluas ruang fiskal. Hanya dengan melakukan efisisensi dan realokasi pos-pos anggaran, maka dana dalam jumlah ratusan triliun rupiah bisa diperoleh. Penghematan itu antara lain melalui pemangkasan biaya perjalanan dinas. Dari sini bisa dihemat anggaran sampai Rp25 triliun.
Cara lain, mengurangi belanja modal pemerintah dengan menghentikan pembangunan gedung-gedung kantor dan pembelian mobil-mobil dinas. Sebagai gantinya, pemerintah bisa menyewa ruang perkantoran dan mebeli-sewa (leasing) kendaraan dinas. Dengan cara ini bisa dihemat anggaran hingga Rp200 triliun.
Pemerintah juga bisa memperoleh dana besar dari perbaikan sisi hulu bahan bakar minyak (BBM). Caranya, berantas mafia migas yang selama ini merugikan negara sekitar US$1 miliar dolar/tahun. Bangun kilang minyak 3x200.000 barel yang bisa menghemat pengadaan BBM di dalam negeri dari impor, transportasi, asuransi, keuntungan para broker, pajak-pajak di Singapura dan lainnya sampai 50%.
Masih dari sisi BBM, pemerintah juga disarankan membagi dua jenis BBM, satu BBM Rakyat dengan RON 83 dan BBM Super RON 92-94. Prinsip pembagian dua jenis BBM adalah subsidi silang. Dari sini bukan saja pemerintah terbebas dari penganggaran subsidi BBM yang sering dijadikan alasan menaikkan harga BBM, tapi sekaligus memperoleh pemasukan sekitar Rp130 triliun/tahun.
Sumber pendanaan lain yang selama ini terabaikan adalah revaluasi aset-aset BUMN. Rizal Ramli pernah memperbaiki kondisi keuangan PLN, tanpa menyuntikan sepesrr pun sebagai modal tambahan. Caranya, dia melakukan revaluasi aset PLN tahun 2000-2001. Sebeljumnya, aset PLN hanya Rp52 triliun dan modalnya minus Rp9 tirliun. Hasilnya, asset PLN melambung jadi Rp202 triliun dan modalnya melonjak jadi Rp119,4 triliun.
Saat ini jumlah asset BUMN diperkirakan sekitar Rp4.500 triliun. Lewat revaluasi, maka nilainya akan naik 3 kali lipat, menjadi sekitar Rp13.500 triliun. Jika Rp5.000 triliun di antaranya disuntikkan ke dalam modal, maka BUMN kita akan bisa mendapatkan modal kerja lebih dari Rp10.000 triliun.
Dengan dana Rp10.000 triliun, banyak sekali yang bisa dilakukan. Akan banyak proyek infrastrukur yang bisa digarap, serta percepatan sektor pertanian dan Industri. Pada saat yang sama, akan menciptakan ratusan ribu bahkan jutaan lapangan kerja baru. Belum lagi dampak sampingan (multiplier effects) yang terjadi saat proyek-proyek infrastruktur itu dikerjakan berupa hidupnya perekonomian di sekitar proyek. Terakhir, berbagai proyek infrastruktur itu akan mempercepat pembangunan ekonomi yang pada ujung-ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Buat Rizal Ramli, kunci dari semua solusi tersebut adalah, pemerintah jangan malas berpikir. Pemerintah harus mau berpikir kreatif, out of box. Banyak kebijakan terobosan yang bisa ditempuh untuk menyejahterakan kehidupan rakyat dan menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar dan disegani.
Prinsip yang dipegangnya teguh adalah semua masalah ada solusinya selama ada keberanian, memahami akar masalah, dan bersih dari permainan kepentingan.
Sikap dan garis kebijakan yang menyempal dari mainstream seperti yang digariskan mazhab neolib inilah yang membuat Rizal Ramli tidak disukai IMF dan Bank Dunia. Mereka juga menggunakan media massa yang terus memompakan opini sesat dan menyesatkan.
Korban pembentukan opini sesat itu bukan hanya rakyat, tapi juga para birokrat, termasuk presiden. Akibatnya, kebijakan yang mereka buat selalu cenderung sejalan dengan neoliberalisme yang tidak akan pernah memperkuat kemandirian nasional dan meningkatkan kesejateraan rakyat. (*)
Jakarta, 20 November 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H