Lihat ke Halaman Asli

Edy Hermawan

SMA Nurul Jadid

Perempuan yang Kukagumi Mata dan Senyumnya

Diperbarui: 8 Februari 2023   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tahu, kita tak boleh melakukan lebih. Percayalah, aku hanya ingin membahasankannya dengan rangkaian kata yang indah agar kamu tahu betapa apa yang aku rasakan ini begitu indah. Setelah itu, semua selesai. Kita jalani hidup ini masing-masing.

Sore itu, aku sudah duduk di sudut kafe lebih awal lima belas menit dari waktu yang kamu janjikan. Aku memesan dua es jeruk sekaligus, lengkap dengan kentang goreng dan saus pedas. Aku sangat mengenalmu sebagai perempuan penyuka jeruk, yang berbahan jeruk, dan kentang goreng. Dan pasti, dulu saat aku mengajakmu bercengkerama di kafe mana pun, kamu akan memesan es jeruk dan kentang goreng dengan saus pedas.

Jujur saja, aku tidak pernah sengaja menanam, apalagi merawat perasaan ini. Semua itu ada dan tumbuh begitu saja. Berulang kali aku sudah mencabut hingga ke akar-akarnya, tapi percuma. Perasaan itu tumbuh kembali. Tanpa kurawat pun, ia terus tumbuh subur dengan daun rimbun penuh bunga.

Aku bisa apa? Aku tak bisa apa-apa. Kamu pernah mengatakan, kalau rasa itu serupa wahyu Tuhan. Ia akan datang, tumbuh, dan berkembang begitu saja. Kamu sendiri yang mangatakan itu saat kita harus melepas genggaman lantaran jauhnya jarak dan lamanya waktu yang memisahkan kita.

Sebenarnya, saat itu aku sangat ingin bertanya, apakah benar kita harus melepas genggaman hanya lantaran jarak dan waktu, atau karena sudah ada sesuatu yang lain yang tumbuh di dadamu? Tapi aku tak bisa, kamu terlalu terburu-buru menutup teleponmu dan nomormu tak bisa lagi kuhubungi sejak itu.

"Aku punya satu pertanyaan," kataku.

"Cukup. Tak ada yang perlu dipertanyakan lagi," sergahmu memotong kalimat terakhirku yang belum usai. Kemudian, suaramu hilang bersama gerimis dan dingin yang membungkus tubuhku.

Kamu tentu masih ingat saat kita tak sengaja bertemu di Puskesmas. Itu pertemuan pertama kita setelah lima tahun berpisah tanpa kabar sepatah kata pun. Aku terkejut, pasti. Aku bahagia, pasti. Tapi aku bingung harus bagaimana menyapamu. Aku bisu seketika itu juga.

Kamu masih sama, tidak berubah sama sekali. Sama seperti dulu saat genggaman kita belum terlepas. Kamu biarkan mata indahmu itu menatapku. Aku juga biarkan mata penuh kekaguman ini menatap mata indahmu. Kita saling tatap cukup lama, kemudian berbagi senyum. Tepat sekali, seperti itu yang biasa kita lakukan. Saling bertatapan, kemudian tersenyum.

Ah, sayang sekali. Semua harus berakhir setelah lelaki yang mengantarmu itu datang menghampiri. Lelaki itu mungkin mengerti bahasa tubuh kita. Mungkin juga tidak. Yang jelas, lelaki itu segera menarik lenganmu dan membawamu menuju salah satu bangunan, yang kutahu tempat persalinan dan pemeriksaan ibu hamil.

Saat itu kita memang tak bertegur sapa dengan satu kata terburuk sekalipun. Tapi bagiku, sorot tatap matamu dan senyum di bibirmu sudah cukup sebagai sapaan pada pertemuan pertama setelah sekian lama kita terpisah. Kamu masih sama seperti dulu. Mengagumkanku. Mata dan senyummu itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline