Koro Benguk (Mucuna pruriens) adalah jenis koro-koroan yang dahulu biasa ditanam petani saat tak ingin serius bertanam. Ya, karena budidaya tanaman ini nyaris tak perlu perawatan, tak perlu pemupukan, tak ada hama yang berarti. Cukup tanam bijinya dan sediakan media untuk merambat. Biasanya tanaman ini dipadukan dengan tanaman jagung sebagai media rambat. Riset ilmuwan menyebutkan tanaman ini mengandung senyawa berharga sebagai obat parkinson. Senyawa tersebut yang selama ini dirasakan masyarakat tradisional sebagai racun bagi manusia maupun ternak sehingga di beberapa daerah tanaman ini dimusnahkan. Ada juga yang membudidayakan namun karena tak mampu/tak telaten mengolah untuk menghilangkan racunnya maka produksi koro benguk kemudian dijual ke daerah lain. Pemanfaatan pekarangan/tegalan untuk budidaya tanaman kayu seperti jati, jabon dan sengon laut patut diduga menyebabkan produksi koro benguk menurun sehingga harganya mahal di pasaran. Melalui proses perebusan, perendaman, pengelupasan kulit dan pencacahan biji koro ini dibuat tempe, yang kemudian diolah lagi menjadi masakan khas besengek tempe benguk di Kulon Progo, DI. Yogyakarta. Bisa juga dibacem kemudian digoreng.
[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Besengek tempe benguk dengan kemasan khas : daun pisang menguning yang sebelumnya digunakan untuk pembungkus saat tempenya dibuat"][/caption] ~ Saat pulang kampung ke Kulon Progo pertengahan bulan lalu, saya ikut ke Pasar Legi (Lendah) untuk belanja dan menjumpai pedagang sayuran yang juga menjual satu olahan dari koro benguk : kulit dan biji benguk muda/basah siap masak. Saat saya masih kecil, jika sedang musimnya kadangkala emak saya membuat masakan dari kulit dan benguk muda sebagai sayur dan dimasak dengan santan. Buah benguk muda (masih hijau dan gendut) direbus, direndam, dicuci agar rambut tipis (lugut) di kulitnya hilang dan racunnya larut ke air yang menghasilkan limbah berwarna hitam. Kulit biji dan bagian dalam dari kulit polong yang keras juga disingkirkan. Hasilnya baru kemudian siap olah menjadi masakan jadi, seperti yang saya jumpai di Pasar Legi waktu itu. Setelah diolah dengan aneka bumbu dan santan, jadilah "jangan benguk". Diabadikan dengan kamera sebelum disantap. Piring enamel yang jadi idola saya sejak bisa milih piring makan makin menguatkan nostalgia... [caption id="attachment_172497" align="aligncenter" width="397" caption="sepiring full"]
[/caption]
[caption id="attachment_172498" align="aligncenter" width="294" caption="kulit benguk dirajang halus, biji benguk dibiarkan utuh"]
[/caption] [caption id="attachment_172499" align="aligncenter" width="426" caption="di meja dan lincak kayu"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H