Lihat ke Halaman Asli

Harga Naik Turun, Pedagang Bingung

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1389077087348914181

[caption id="attachment_288820" align="aligncenter" width="300" caption="Warung kelontong (sumber: www.teropongbisnis.com)"][/caption] Mengamati gonjang-ganjing harga elpiji, saya jadi teringat kisah tentang warung ibu saya. Kejadiannya sudah lama sekali, awal tahun 1970-an. Syahdan, untuk membantu menopang kehidupan keluarga, ibu saya sempat membuka warung. Istilah waktu itu: warung kelontong. Warung itu ukurannya sangat kecil, memakai emperan rumah kami, tapi isinya cukup lengkap, menjual berbagai macam keperluan rumah tangga. Dari sabun mandi, beras, gula, minyak goreng, makanan kecil, semua ada. Mungkin mirip dengan warung emaknya Si Doel di serial "Si Doel Anak Sekolahan" itu. Suatu hari, ibu saya kaget bercampur gembira. Warungnya laris sekali. Biasanya juga tidak sepi, tapi tidak pernah seramai itu. Hampir semua pembeli yang datang membeli gula. Bahkan ada yang ingin memborong, tapi ibu saya tidak mau. "Nanti orang lain gimana? Kasihan kalau tidak kebagian," begitu katanya. Ibu senang sekali, karena dalam waktu singkat persediaan gula di warung habis. Keesokan harinya, ketika Ibu ke kota mau membeli gula ke pengecer besar (istilahnya: kulakan), 'misteri' warung yang tiba-tiba ramai menemukan jawabannya. Ternyata sudah dua hari harga gula naik, tanpa Ibu ketahui. Dan karena ketidaktahuan itu, Ibu masih menjual gula dengan harga lama. Akibatnya: (1) Gula laris manis, (2) Hasil penjualan tidak bisa dipakai kulakan gula dengan jumlah yang sama. Oleh karenanya, jelas, Ibu mengalami kerugian akibat kenaikan harga tsb. Berbekal kisah itu, saya tidak kaget ketika perubahan harga elpiji yang begitu cepat bukan hanya menyusahkan konsumen, tetapi juga para pedagang atau penyalur elpiji. Ketika harga elpiji 12 kg naik drastis dari Rp 90 ribuan (di tingkat konsumen di Jawa) menjadi Rp 140 ribuan, sepintas kelihatannya pedagang akan untuk besar. 'Untung besar' itu diperoleh dari dari selisih harga jual (baru) dengan harga beli (lama). Ilustrasi sederhananya, harga beli (oleh pedagang) lama Rp 80 ribu, dijual dengan harga baru Rp 140 ribu, pedagang untung Rp 60 ribu per tabung, jauh lebih besar daripada keuntungan sebelumnya (Rp 10 ribu per tabung). Begitukah? Tidak! Karena uang hasil penjualan itu mereka akan pergunakan untuk membeli (kulakan) dari distributor, tentu saja dengan harga baru. Jadi 'untung besar' itu hanya ada kalau dilihat sepintas. Pada akhirnya, 'untung besar' itu akan hilang ketika uang itu digunakan untuk mengambil barang jualan lagi. Bahkan, para pedagang akan mengalami penurunan keuntungan. Karena ketika harga naik, jumlah pembeli akan berkurang, atau pembeli akan mengurangi jumlah pembeliannya. Kalau, misalnya, biasanya pedagang bisa menjual 10 tabung per hari, setelah harga naik mungkin hanya ada 6 orang pembeli. Marjin keuntungan pedagang bisa saja tetap (atau naik sedikit), tetapi total keuntungan yang mereka peroleh bisa berkurang. Oleh karena itu, saya tidak kaget ketika mendengar ada pedagang yang memutuskan tidak menjual elpiji 12 kg untuk sementara, menunggu kepastian harga dari pemerintah/Pertamina. Terus, apa yang terjadi kalau harga yang sebelumnya sudah diputuskan naik (menjadi Rp 140 ribu) itu diturunkan lagi menjadi Rp 100 ribu? Pedagang juga puyeng. Bayangkan, elpiji yang harga jualnya Rp 140 ribu itu mungkin diambil (dibeli) dengan harga Rp 130 ribu. Jadi, kalau barang yang sama kemudian harus dijual dengan harga Rp 100 ribu (menyesuaikan harga baru), pedagang jelas akan rugi.. Padahal, di dunia ini tidak ada pengusaha atau pedagang yang mau rugi. Lalu, siapa yang harus menanggung kerugian tsb? Dengan kata lain, baik harga naik maupun harga turun sebenarnya sama-sama bikin pusing para pedagang. Yang mereka harapkan adalah stabilitas harga. Itu berbeda dengan konsumen, yang menderita kalau harga naik, tetapi senang kalau harga turun. Lalu siapa yang diuntungkan oleh situasi gonjang-ganjing seperti ini? Saya sudah berusaha keras mencari, tetapi hanya menemukan satu, yaitu: spekulan! Itu adalah para pedagang yang bersikap oportunis untuk mengeruk keuntungan secara tidak adil dari naik-turunnya harga. Para spekulan itu biasanya punya sumber informasi terpercaya, sehingga kalau ada perubahan harga, mereka bisa tahu lebih awal dibandingkan kita-kita orang biasa ini. Begitu mendengar harga akan naik, mereka akan menahan barang. Disimpan dulu, atau kalau perlu mereka membeli dulu dalam jumlah besar untuk kemudian dijual setelah harga benar-benar naik. Praktek "penimbunan" itu jelas melanggar hukum, tapi siapa sih yang bisa mengawasinya? Sebaliknya, ketika tahu harga akan turun, mereka stop mengambil barang dulu. Barang yang ada sebisa mungkin dijual dengan harga lama (sebelum turun) dengan alasan mereka mengambilnya dengan harga lama (dan itu memang benar). Kalau pemerintah punya kebijakan yang transparan dan "masuk akal", para spekulan itu tidak akan bisa 'berkembang'. Tapi kalau pemerintahnya gojag-gajig, maju-mundur, membuat harga naik-turun, itu hanya akan menguntungkan para spekulan. Konsumen dan pedagang yang jujur akan dirugikan. Sayangnya, berkaca dari kasus elpiji 12 kg, pemerintah punya kecenderungan untuk itu..




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline