[caption id="attachment_313302" align="aligncenter" width="632" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Dulu Bank Indonesia (BI) merupakan lembaga yang sangat 'powerful'. Pertama, dia berkewenangan mencetak uang. Waktu masih kanak-kanak saya sering membayangkan betapa enaknya kerja di BI, bisa cetak uang dan ambil berapa pun kita mau. Setelah 'melek moneter', tentu saja angan-angan itu tidak lagi ada. Saya tahu, bahwa pencetakan uang itu erat kaitannya dengan pengendalian inflasi, meskipun pengendalian inflasi tidak hanya dilakukan melalui pengaturan jumlah uang yang dicetak itu. Dan tentu saja tidak benar bahwa orang BI bisa ambil uang seenaknya seperti bayangan saya waktu kecil. Kedua, BI juga berkewenangan untuk mengawasi bank. Saya dulu sering jengkel kalau ada bank yang 'nakal' tapi dibiarkan hidup hingga merugikan nasabah. Kalau cuma merugikan pemilik bank (dan itu jarang!) sih tidak masalah. Sasaran kejengkelan saya jelas BI, karena saya tahu dia yang mestinya mengawasi perilaku bank dan para bankers itu. Kalau sudah memuncak, kejengkelan saya biasanya terwujud dalam bentuk omelan, "Ngapain aja sih kerjaan orang-orang BI itu?!" Tapi kalau sudah mereda, omelan itu tentu saja tidak muncul lagi. Ketiga, dulu BI juga berperan dalam menyalurkan kredit program yang bunganya disubsidi oleh pemerintah. Beberapa skema kredit program yang saya ingat: BIMAS, KIK, KMKP, dsb. Tidak ingat persis ada berapa macam, karena itu sudah agak lama. [caption id="attachment_287987" align="aligncenter" width="300" caption="Kantor Bank Indonesia (sumber: www.emergingfrotiers.com)"]
[/caption] Bisa ditambahkan: pengendalian nilai tukar. Meskipun kita semua tahu, bahwa nilai tukar kita lebih banyak ditentukan oleh mekanisme pasar ketimbang kontrol BI. Buktinya, sekarang dollar nangkring di angka Rp 12 ribuan kita (baca: BI) tidak bisa ngapa-ngapain.. Mungkin masih ada tugas atau tanggung jawab lain yang dipegang BI, saya tidak tahu persisnya. Yang jelas, dengan tiga kewenangan tersebut di atas saja BI sudah merupakan instansi yang sangat penting, dan oleh karena itu saya maklum saja ketika tahu betapa tingginya gaji para pejabat BI. Menurut Kompas (11/12/2012) gaji Gubernur BI adalah Rp199 juta per bulan, dua kali gaji Presiden RI (konon Rp100 juta sebelum dipotong pajak). Itu uang semua! Sebenarnya akal sehat saya mengatakan, mestinya gaji pegawai pemerintah yang paling tinggi itu ya gaji presiden, wong jabatan dia paling tinggi.. Tapi ternyata bukan. Gaji presiden ternyata masih kalah jauh dengan gaji gubernur BI. Tapi okelah... mungkin (sekali lagi: mungkin) itu sebanding dengan tugas beratnya. Masalahnya, seiring berjalannya waktu, beberapa kewenangan BI dilimpahkan kepada instansi lain. Penyaluran kredit program dilimpahkan ke Kementerian Keuangan. Belum lama ini, dengan berdirinya OJK (Otoritas Jasa Keuangan), BI tidak lagi berwenang melakukan pengawasan terhadap perbankan. Dengan kata lain, setelah saya pikir-pikir, tugas BI itu tinggal satu, yaitu mengendalikan inflasi. Oke, plus mencetak uang, tapi itu kan tugas rutin ('tidak perlu banyak mikir'), dan juga masih terkait dengan pengendalian inflasi. Akal sehat saya mulai bergejolak lagi. Kalau 'cuma' mengendalikan inflasi, apa iya para pejabat BI pantas digaji sebesar itu? Saya tidak bilang bahwa pengendalian inflasi itu tidak penting, cuma --terus terang-- "naluri akuntabilitas" saya agak terganggu karenanya. "Gangguan" terhadap akal sehat saya semakin terasa, ketika saya ngobrol dengan seorang kenalan, dia pejabat eleson 2 di Kementerian Dalam Negeri. Kejadiannya sekitar awal tahun lalu (2013). Beliau cerita, "Mas, saya baru saja rapat dengan BI." Spontan saya tanya, "Lho, apa hubungannya Bapak dengan BI?!" Beliau kemudian menceritakan apa yang dibahas dalam rapat dengan BI tersebut. Ternyata, 70% dari dari inflasi itu sumbernya di daerah, dan itu di luar "wilayah kekuasaan" BI. Komponen inflasi yang benar-benar dalam kendali BI hanya 30%. Itulah mengapa, BI minta bantuan Kementerian Dalam Negeri untuk mengendalikan inflasi, karena Kemendagrilah yang bisa mengatur (pemerintah) daerah. Itulah sebenarnya awal mula dibentuknya Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di banyak daerah. Lho, berarti tugas BI yang tinggal satu (pengendalian inflasi) itu juga juga tidak bisa sepenuhnya dijalankan to? Hanya 30%-nya, sisanya minta bantuan instansi lain. Kali ini saya tak mampu lagi membendung gejolak akal sehat saya: Lalu BI sekarang kerjanya apa, ya? Dan pantaskah dengan pekerjaan seperti itu para pejabatnya mendapatkan gaji yang demikian tinggi? Sampai sekarang saya masih 'gelisah' memikirkan itu. Ada yang bisa bantu? Terima kasih sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H