Alhamdulillah, Presiden Kami Jujur
Oleh Edy Mulyadi*
Ya Allah ya Rabb, terima kasih Engkau telah memberi kami seorang presiden yang jujur. Terima kasih ya Allah ya Rabb, Engkau beri kami seorang presiden yang tampil apa adanya. Terima kasih Engkau beri negeri ini Presiden yang tidak berpura-pura sedih dan tidak pura-pura berempati di hadapan para pengungsi korban erupsi Gunung Kelud.
Peresiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhirnya mengunjungi pengungsi korban erupsi Gunung Kelud. Begitu kurang lebih yang disampaikan pembaca berita Kompas Malam, Senin malam, 17/2. Namun kunjungan SBY itu justru membuahkan kekecewaan pengungsi karena amat singkat, hanya sekitar 10 menit. Pengungsi tidak sempat menyampaikan keluh kesah kepada presiden negaranya sendiri.
Tapi rekor prestasi kunjungan supersingkat itu ternyata langsung ditumbangkan beberapa saat kemudian. Lagi-lagi pembaca berita menyampaikan, dalam kunjungan SBY kepada pengungsi korban erupsi Gunung Kelud di Wates, bahkan hanya berlangsung lima menit. Ulangi, lima menit! Setelah itu SBY buru-buru ke bandara Abdurrachman Saleh, Malang, untuk kembali ke Jakarta. Hmmm….
Masih seputar kunjungan SBY itu, running text Kompas TV pada saat yang sama antara lain menayangkan kalimat-kalimat ini: Presiden belum datang, jam makan siang warga dimundurkan// Lama menunggu kedatangan presiden, seorang balita sempat sesak napas// Amboi betapa besar perjuangan dan pengorbanan para pengungsi itu hanya agar bisa bertemu dengan presidennya sendiri. Jam makan siang diundur. Balita sesak napas. Wuih…
Dalam logika awam saya, kunjungan teramat singkat seorang presiden kepada rakyatnya yang ditimpa musibah adalah suatu yang absurd. Begitu absurd-nya, hingga akal sehat saya tidak bisa menerima sebagai sebuah kenyataan. Kunjungan kepada rakyat yang menderita hanya selama 10 menit?! Kunjungan cuma 5 menit?! How come???
Tapi, jangan khawatir, untuk peristiwa absurd dan langka ini, pasti orang-orang di sekeliling SBY sudah punya jawaban. Buat perkara membela sang bos, lingkaran istana itu memang terkenal jago; terlepas pembelaan mereka biasanya justru makin menunjukkan tidak nyambungnya logika dengan ralitas.
Misalnya, mereka akan berkata, kurang lebih, seperti ini; Lho, kan presiden sibuk. Beliau banyak agenda kegiatan yang penting dan tidak bisa ditinggalkan. Jadi, mohon maaf dan maklum, kalau bapak presiden tidak bisa berlama-lama menemui para pengungsi korban erupsi Gunung Kelud.
Untuk substansi pembelaan para jubir istana akan seperti itu, maka pertanyaan yang layak diajukan kepada mereka, adakah hal lain yang lebih penting ketimbang mengurusi rakyat, terlebih lagi rakyat yang sedang tertimpa musibah? Bukankah presiden diangkat, digaji, diberi bermacam fasilitas yang seluruhnya dibiayai dengan uang rakyat memang untuk mengurus rakyat? Agenda presiden apa lagi yang lebih penting daripada soal-soal yang menyangkut hajat hidup rakyatnya, termasuk 87.692 pengungsi korban erupsi Gunung Kelud?
Saya jadi teringat ketika SBY lebih memilih ke Bali untuk urusan Partai Demokrat ketimbang segera memenuhi kerinduan pengungsi korban Gunung Sinabung. Pada 19 Januari silam, publik disuguhi berita SBY terbang ke Bali. Kali ini jenderal purnawirawan lulusan AKABRI terbaik 1973 itu berperan sebagai Ketua Umum PD. Dia ternyata lebih memilihngelencerke Bali untuk membuka konsolidasi akbar Partai Demokrat di Pulau Bali, ketimbang mengunjungi pengungsi korban erupsi Gunung Sinabung. Menurut politikus Partai Demokrat, Didi Irawadi Syamsuddin, dalam konsolidasi di Bali SBY memberikan pencerahan bagi kader Demokrat soal strategi memenangi pemilu 2014. Akhirnya, beberapa hari kemudian, dia memang berkunjung ke tempat pengungsian, walau tetap membawa kehebohan baru. tenda menginap presiden seharga Rp15 miliar!!!
Bicara soal fasilitas, banyak yang merasahaqqul yaqin, bahwa ketika SBY pelesiran ke Bali sebagai Ketum Demokrat, pasti dibiayai oleh negara. Pesawat yang digunakan dibayar oleh negara. Aftur yang digunakan menerbangkan pesawat pasti dibayar dengan uang rakyat. Paspampres dan ‘rombongan sirkus’ yang menyertainya juga dibayar oleh negara. Sisir, minyak rambut, minyak wangi, baju, kaus dalam, celana panjang, celana pendek, celana dalam, sabun, odol, sikat gigi, sepatu, semir sepatu, kaus kaki, pulsa untuk berkomunikasi, dan lain-lainnya (maaf kalau masih ada yang terlewat dan belum disebut di sini), semua dibayar oleh rakyat.
Kalau semuanya dibiayai rakyat, bukankah tindakannya ke Bali patut diduga sebagai penyelewengan anggaran negara? Memangnya kita bisa memisahkan SBY sebagai Presiden dan Kepala Negara dan SBY sebagai ketua Partai Demokrat pada saat yang sama? Bukankah ketika dia diangkat menjadi Presiden, maka 24 jam sehari SBY adalah seorang PresidenRepublik Indonesia? Apa dia atau para pengikutnya akan berkilah, bahwa ketika ke Bali SBY bukanlah Presiden, tapi Ketum Demokrat? Lalu dengan begitu seluruh pengeluarannya dibiayai oleh partai? Hayo, berani klaim seperti itu?
Terima kasih ya Allah
Tadinya saya sempat berpikir, kalau pun SBY adalah seorang yang nirempati kepada derita rakyatnya, setidaknya mbokdia cukup pintar untuk berpura-pura berempatilah. Caranya gampang, kok. Datanglah sebentar ke lokasi musibah barang beberapa jam. Ulangi, beberapa jam. Bukan 5 atau 10 menit! Soal jadwal yang padat, kan dia seorang presiden. Kalau untuk mengatur jadwal saja tidak bisa, bagaimana mungkin dia mampu mengatur negara dan 250 juta rakyat Indonesia?
It’s ok,tapi biarlah yang seharusnya terjadi terjadilah. Sebagai rakyat Indonesia saya kok malah bersyukur dalam-dalam kepada Allah Yang Maha Kuasa. Dengan kehendakNya, Allah membukakan ‘wajah asli’ presiden SBY kepada rakyatnya. Dia tampil jujur, tampil apa adanya, tanpa topeng. Allah bukakan fakta, bahwa SBY adalah seorang pemimpin yang tidak punya empati kepada penderitaan rakyatnya. SBY adalah presiden yang lebih mengutamakan partainya ketimbang mengurus rakyatnya.
Terima kasih ya Allah, Engkau telah menunjukkan kepada kami rakyat Indonesia, bahwa SBY adalah seorang presiden yang lebih memilih sibuk menulis buku dan menggubah lagu ketimbang mengurusi negara. Bahwa, SBY adalah seorang penguasa yang sibuk mengumbar somasi bagi rakyatnya sendiri hanya karena perbedaan pendapat.
Akhirnya, sebagai rakyat yang tidak punya apa-apa --anggota Dewan bukan, pejabat publik bukan, ketua umum Parpol juga bukan-- ya sudah, saya cuma bisa berdoa kepada Allah saja. Ya Allah, ampuni dosa-dosa kami, baik yang sengaja maupun tidak, baik yang lalu, sekarang, maupun akan datang.
Ya Allah, ampuni dosa kami yang telah salah memilih pemimpin negeri gemah ripah loh jinawai ini. Ampuni kesalahan kami yang hanya bisa membiarkan pemimpin tidak bernurani dan nihil empati kepada derita rakyatnya terus berkuasa hingga akhir masa jabatannya. Ampuni kami yang tidak berani melakukan apa pun untuk melakukan perubahan ke arah lebih baik. Padahal, nabiMu Muhammad SAW yang mulia sudah mengingatkan kami, bahwa mengubah kemunkaran hanya dengan hati adalah tanda selemah-lemahnya iman. Ampuni kami ya Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Bijaksana. Aamiin ya robbal ‘alamiin… (*)
Jakarta, 17 Februari 2014
Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H