Lihat ke Halaman Asli

Anti Klimaks Dahlan; Pemenang yang Di(kalah)kan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh Edy Mulyadi*

Dahlan Iskan mengalami anti klimaks. Sebagai pemenang Konvensi Partai Demokrat dia ternyata tidak diusung menjadi Capres partai berlogo Mercy itu. Jangankan Capres, lha wong Cawapres saja ndak, tuh. Para elit Demokrat lebih memilih Pramono Edhie Wibowo menjadi Cawapres mendampingi Abirizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar.

Kepastian Dahlan terlempar dari posisi Capres/Cawapres Demokrat itu disampaikan MS HIdayat. Yang disebut belakangan ini anggota Tim 6 yang ditugasi Golkar dan Demokrat menggodok semua kemungkinan perkawinan dua Parpol tersebut. Mereka terdiri atas MS Hidayat, Agung Laksono, dan Idrus Marham dari Golkar. Sedangkan wakil Demokrat ada Syrief Hasan, Jero Wacik serta Edhie Baskoro Yudhoyono.

Menurut Hidayat, kemarin malam akhirnya terbentuk poros baru, Golkar-Demokrat. Poros ini akan  mengusung ARB-Pramono sebagai Capres-Cawapres. Namun dia menambahkan, keputusan yang dihasilkan oleh Tim 6 tersebut akan dibawa ke Rapimnas masing-masing partai untuk mendapat pengesahan.

Bagaimana sikap Dahlan terkait soal ini? Sebagai  pemenang konvensi Capres Partai Demokrat, dia mengaku tidak kecewa. Menteri BUMN ini menyatakan legowo. Bahkan pemilik Grup Jawa Pos itu mengaku sudah tidak memikirkan lagi soal konvensi.

Saya pemenang

“Sudah, saya anggap selesai. Saya sudah tidak memikirkan itu (konvensi). Saya tegaskan lagi, bahwa saya tidak kecewa. Kenapa saya enggak kecewa? Karena politik memang seperti itu. Yang jelas saya pemenang konvensi, dan konvensi sudah saya anggap selesai,” tukasnya  saat dikeroyok wartawan usai berbicara di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Sabtu (17/5).

Dahlan legowo. Bagus itu. Tapi, kalimatnya yang menegaskan (kembali), bahwa dia adalah pemenang konvensi Demokrat, sepertinya mengisyaratkan hal lain. Di sana tergurat pesan yang sangat jelas, I’am the winner. Dan, pakem yang biasa berlaku adalah the winner takes all. Tidak  percaya? Orang biasanya hanya ingat juara pertama. Selanjutnya juara kedua hanya samar-samar. Juara ketiga…? Keempat...? Sudahlah, lupakan saja!

Baiklah, soal legowo atau tidaknya Dahlan itu sepenuhnya jadi domain yang bersangkutan. Hanya dia dan Allah saja yang tahu persis. Tapi, apa politik memang seperti itu? Politik boleh mengingkari kesepakatan? Atas nama strategi dan taktik, politik boleh mementahkan apa pun yang sudah dilakukan sebelumnya? Termasuk, hasil hajatan yang bernama Konvensi Capres?

Kalau memang benar begitu adanya, politik yang seperti itu  menjadi justifikasi atas Il Principe(Sang Penguasa) yang ditulis FirenzeNiccolò Machiavelli. Buku yang aslinya berjudul De Principatibus(Tentang Kekuasaan) itu mengajarkan bagaimana memperoleh, memperluas, dan menggunakan kekuasaan agar memperoleh hasil maksimal.

Di buku itu dia menulis nasihatnya yang blak-blakan, bahwa seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta. Kalau perlu silakan digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan. Dari sinilah kemudian dikenal istilah Machiavellis.

Machiavelli memang dikutuk banyak karena dianggap bajingan tidak bermoral. Namun pada saat yang sama, dia juga dipuja banyak pihak lainnya selaku realis tulen yang berani memaparkan keadaan dunia apa adanya.

Maaf, numpang tanya ya, pada konteks konvensi Capres, apakah para petinggi Demokrat sedang menerapkan prinsip-prinsip Machiavelli? Melancarkan tipu muslihat, licik, dan berdusta agar tetap bisa berada di lingkar kekuasaan? Aduh, ngeri betul.

Di  ujung artikel ini, saya ingin mengulang paragraf terakhir di artikel saya sebelumnya (Lagi, Capres Penari Latar di Konvensi Demokrat - http://nasional.inilah.com/read/detail/2101311/lagi-capres-penari-latar-di-konvensi-demokrat#.U3ivA9KSzls) “Aduh, Dahlan. Kasiaaan deh, loe. Lagian lha kok ya mau-maunya kamu bergabung ke tempat dan waktu yang salah?” (*)

Jakarta, 18 Mei 2014

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economy and Democracy Studies (CEDeS)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline