Lihat ke Halaman Asli

Edwison Setya Firmana

as simple as es puter

Mungkinkah Mempercepat Proses Perijinan Perikanan?

Diperbarui: 11 Februari 2019   11:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Ketika bertemu nelayan dalam penyerahan Surat Ijin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) di Istana Negara (30/1), Presiden Joko Widodo menyoroti proses perijinan perikanan yang masih memakan waktu lebih dari satu minggu. Dia mencontohkan dia pernah mengurus ijin yang selesai hanya hitungan jam. "Jaman IT kok perijinan bisa lama," ucap Presiden di hadapan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti beserta jajarannya dan para Pemilik Kapal penangkap ikan.

Sebetulnya proses perijinan perikanan tidak semua memakan waktu berbulan-bulan. Ada yang cukup seminggu, sebagaimana kesaksian Suwarto, Pemilik Kapal yang ditanyai Presiden di kesempatan itu. Lalu apa yang membuat durasi perijinan berbeda-beda?

Dirjen Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar menyebutkan bahwa selama ini Laporan Kegiatan Penangkapan (LKP) sebagai syarat pembaruan SIPI dan Laporan Kegiatan Usaha sebagai syarat pembaruan SIUP disampaikan oleh Pemilik Kapal dengan isi laporan yang tidak benar. Mereka diduga melaporkan produksi jauh di bawah angka produksi sebenarnya. Hal ini diklaimnya berpengaruh terhadap kelestarian sumber daya ikan dan pendapatan negara melalui pendapatan negara bukan pajak dan pajak.

Sehingga Zulficar Mochtar beserta jajarannya di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) harus memanggil para Pemilik Kapal dalam proses telaah kembali (review) perijinan kapal penangkap ikan. Proses inilah yang memakan waktu hingga berbulan-bulan karena jumlah kapal berijin pusat, yaitu kapal berukuran lebih dari 30 Gross Ton (GT) harus menyampaikan ijinnya ke Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah KKP, berjumlah setidaknya empat ribuan kapal.

Bagaimana Kerugian Negara dari Pelaporan Kurang?

Mari kita mencari gambaran berapa besar potensi kerugian negara dari pelaporan produksi yang kurang dari angka sebenarnya. Contoh sederhananya, misalnya stok kelompok ikan pelagis besar di Barat Sumatra sebesar 364.830 ton. Dengan pendekatan kehati-hatian, maka 80% dari stok tersebut dijadikan Jumlah Tangkap Diperbolehkan (JTB) alias sebesar 291.864 ton ikan pelagis besar boleh ditangkap dalam setahun. Andai ada 600 kapal di sepanjang pantai barat Sumatra mengeksploitasi ikan pelagis besar dengan alat rawai tuna dan pukat cincin pelagis besar, dan mereka melaporkan dalam LKPnya masing-masing 90 ton setahun, maka ada 54.000 ton ikan tertangkap dalam setahun di perairan itu. Merujuk pada JTB sebesar 291.864 ton, maka ada sisa kuota sebesar 237.864 ton.

Laporan sebesar 90 ton setahun di LKP itu dianggap terlalu rendah karena tidak sebanding dengan biaya operasional. Misal tangkapan mereka sebetulnya mencapai 250 ton, maka total produksi ikan pelagis besar dari 600 kapal adalah sebesar 150.000 ton, dan sisa kuota adalah hanya sebesar 141.864 ton.

Bandingkan sisa kuota berdasarkan LKP sebesar 237.864 ton. Ada selisih hampir 100.000 ton! Bila Menteri membuka keran ijin untuk "sisa" sebesar 237.864 ton padahal sisa sebenarnya hanya 141.864 ton, maka hasilnya adalah krisis ikan pelagis besar di periode berikutnya. Ini adalah kerugian ekologis yang sangat serius.

Bagaimana dengan kerugian ekonomi? Bila rata-rata harga ikan pelagis besar di tingkat nelayan adalah sebesar Rp 30.000 per kilogram, maka menurut LKP, pendapatan sebuah kapal dengan menangkap 90 ton adalah Rp 2,7 milyar setahun. Sedangkan penangkapan sesungguhnya sebesar 250 ton menghasilkan Rp 7,5 miliar! Ada Rp 4,8 milyar yang tidak dilaporkan dari satu kapal, sedangkan ada 600 kapal serupa yang melaporkan jauh di bawah angka tangkapan sebenarnya.

Hitung-hitungan di atas memang sangat kasar untuk memberi gambaran sederhana tentang kerugian negara dari sisi ekologi dan ekonomi akibat laporan lebih rendah daripada produksi yang sebenarnya. Pelaporan semacam inilah yang hendak dibenahi Susi Pudjiastuti, Zulficar Mochtar, dan jajarannya.

Memanggil pemilik seribuan kapal yang SIPI-nya mati dalam periode beberapa bulan tentu bukan pekerjaan mudah. Penelaahan kepatuhan Pemilik Kapal, salah satunya dengan menilai pelaporan produksi, adalah hal penting. Namun demikian, permintaan Presiden Joko Widodo untuk memepercepat proses perijinan juga harus diperhatikan karena perijinan menentukan kelancaran usaha dan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline