Lihat ke Halaman Asli

Edwison Setya Firmana

as simple as es puter

Candi Gebang – Cerita tentang Kebesaran Indonesia dari Lereng Merapi

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13279051441594697262

[caption id="attachment_158194" align="aligncenter" width="570" caption="Candi Gebang - sebuah candi kecil yang bercerita tentang kebesaran Indonesia"][/caption]

Candi Gebang adalah salah satu candi yang tersebar di lereng Gunung Merapi. Candi-candi lainnya antara lain adalah Candi Prambanan, Candi Morangan, Candi Sojiwan, Candi Gana dan Candi Sambisari. Setidaknya ada 19 (sembilan belas) candi di Yogyakarta dan 11 (sebelas) candi di Magelang yang mengelilingi Gunung Merapi. Sepertinya Gunung Merapi memang menjadi salah satu pusat pemujaan pada di era keemasan Hindu dan Budha di Indonesia masa silam.

Candi Gebang berada di Dusun Gebang, Kelurahan Wedomartani, Kecamatan Ngemplak, Sleman, DIY. Lokasinya dekat Stadion Maguwoharjo, namun keduanya dipisahkan sebuah sungai kecil dengan lereng cukup curam dan dalam. Awal penemuan candi ini adalah ketika seorang penduduk menggali tanah untuk mencari batu sebagai bahan bangunan di bulan November 1936. Sang penduduk tersebut menemukan arca Ganesha. Penemuan itu ditindaklanjuti oleh Dinas Purbakala (Oudheid Dienst) dengan melakukan pemugaran di bawah pimpinan Prof. Dr. Van Romondt pada tahun 1937 hingga 1939. Saat ditemukan, bangunan candi tersebut dalam kondisi runtuh total di bawah timbunan tanah dan endapan vulkanik Merapi. Kondisi seperti ini tampak lumrah karena umur candi dan kejadian-kejadian alam yang menyertai perjalanan sejarahnya. Hal serupa menimpa Candi Sambisari, Candi Kadisoka dan Candi Morangan. Penemuan terkini atas candi terkubur tanah berlokasi di Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, pada akhir tahun 2009.

Secara fisik, Candi Gebang berukuran panjang-lebar masing-masing 5,25 meter dan tinggi 7,75 meter. Bangunan candi menghadap timur dengan satu bilik bersisi sebuah yoni di dalamnya. Sejumlah artefak ditemukan saat penggalian lanjutan, antara lain wadah gerabah, peripih (kotak batu berlubang), lingga dan beberapa arca dewa. Arca Nandiswara sang dewa penjaga mata angin terdapat di sisi kanan pintu. Seharusnya ada arca Mahakala di sisi kiri pintu namun arca ini tidak ada sejak penemuan. Sementara itu, arca Ganesha terdapat sisi barat bangunan.

Berdasarkan artefak yang ditemukan dan ciri bangunannya, Candi Gebang adalah Candi Hindu yang didirikan pada sekitar tahun 730 hingga 800 Masehi. Seperti layaknya pusat pemujaan agama Hindu yang berada dekat aliran air, Candi Gebang pun berada di tepi sungai. Saat ini, sungai yang mengalir di tepi candi tersebut adalah aliran kali kecil yang kelak menyatu dengan Kali Kranduan di Embung Tambak Boyo. Mungkin bentuk sungai ini berbeda dengan bentuk sungai saat Candi Gebang dibangun dulu. Posisinya yang hanya berjarak 23,5 km dari puncak Merapi selama lebih dari seribu duaratus tahun dan meletus setidaknya 29 (duapuluh sembilan) kali tentunya mengalami perubahan paras topografi.

Walau pun tergolong candi kecil, Candi Gebang tidak luput dari incaran pencuri benda sejarah. Kepala arca Nandiswara pun lenyap di tahun 1989. Hal ini sangat disayangkan karena sekecil apa pun bangunannya dan serendah apa pun kastanya, candi tersebut tetap bukti sejarah yang bisa mengungkap kebesaran sejarah bangsa kita. Candi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang berada di dekat aliran air adalah salah satu filosofi yang patut dipelajari. Sungai dan airnya sebagai sumber kehidupan untuk kebutuhan manusia dan lahan pertanian sangat dijaga kelestariannya.

Terletak di tengah persawahan dan tepi sungai dengan tebing curam, Candi Gebang sebetulnya sangat berpotensi menjadi lokasi wisata pendidikan. Walau cukup terawat dengan taman yang indah, Candi Gebang masih kesepian dari hingar bingar pariwisata Yogyakarta. Lokasinya yang terpencil dan tenang, pemda setempat sesungguhnya dapat membangkitkan wisata pendidikan yang berwawasan lingkungan dengan tetap memerhatikan keterlibatan masyarakat di sekitarnya. Wisata pendidikan yang bisa diangkat pun beragam, antara lain sejarah, keterkaitan ilmu agama dengan pengelolaan lingkungan dan seni. Bahkan tidak mustahil menggelar pertunjukan musik di halaman candi. Dengan demikian, pariwisata Sleman dapat terangkat, kehidupan masyarakat sekitarnya yang masih miskin pun dapat dibantu dengan keberlangsungan industri pariwisata tersebut tanpa mengubah karakter dasar masyarakat Jawa yang sederhana dan ramah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline