Beberapa pekan yang lalu, tidak lama setelah HUT Republik Indonesia ke-72, Jakarta menjadi sorotan di media dunia internasional. Nama kota Jakarta terpampang dengan jelas pada suatu judul artikel yang dipublikasi oleh media publikasi ternama New York Times. Namun, berita baiknya hanya sampai sana saja.
Pada kenyataannya, artikel pada New York Times tersebut yang berjudul "Jakarta, the City Where Nobody Wants to Walk" (Jakarta, Kota di mana Tidak Ada yang ingin Berjalan Kaki) justru mengkritik kondisi jalan di Jakarta yang tidak mendukung bagi pejalan kaki serta budaya jalan kaki dari penduduk Jakarta sendiri.
Saya tak habis berpikir bagaimana topik tersebut, yang mungkin menjadi hal yang biasa bagi penduduk Jakarta sendiri, bisa menjadi sorotan di luar negeri, terlebih lagi oleh nama sebesar New York Times.
Akan tetapi saya tidak akan membahas mengenai bagaimana kondisi trotoar jalan di ibukota negara kami yang tercinta dapat berdampak kepada citra negara serta dampak ekonomi dan sosial di Indonesia, tetapi saya ingin membuka pandangan mengenai bagaimana kondisi trotoar jalan di Jakarta dapat berpengaruh kepada taraf kesehatan dari penduduk Jakarta, baik jangka pendek atau jangka panjang.
Seorang pejalan kaki di Jakarta dapat menemui berbagai masalah dalam kesehariannya. Dari segi trotoar, hanya 7% dari jalan di kota memiliki trotoar, masih terdapat banyak trotoar serta penyebrangan yang belum dirawat dengan baik.
Terlebih lagi, pejalan kaki tidak terlepas dari bahaya di trotoar, di mana sepeda motor juga seringkali naik ke trotoar untuk menghindari kemacetan atau berparkir di atas trotoar, dan secara keseluruhan lalu lintas yang hampir selalu padat sehingga kata 'macet' sudah tidak asing sama sekali bagi penduduk Jakarta. Hal tersebut belum diperhitungkan serta dengan kepatuhan pengguna kendaraan terhadap aturan lalu lintas.
Padahal, hak-hak pejalan kaki sudah memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 tahun 2009 Pasal 131, yang menyatakan bahwa pejalan kaki berhak mendapatkan fasilitas yang memadai dan prioritas pada saat menyeberang. Berdasarkan WHO Global Report on Road Safety 2015, 22% dari kematian lalu lintas berasal dari pejalan kaki; pada Asia Tenggara, proporsinya merupakan 13% dari seluruh kematian lalu lintas pada wilayah tersebut.
Laporan KORLANTAS RI pada triwulan terakhir menunjukkan kecelakaan yang melibatkan pejalan kaki merupakan jenis kecelakaan ketiga terbanyak setelah tabrakan berhadapan dan tabrakan dari belakang. Terlebih lagi, dengan kondisi jalan Jakarta saat ini, pejalan kaki terpapar dengan panas serta polusi udara yang dapat menimbulkan risiko bahaya kesehatan seperti penyakit pada saluran pernafasan.
Di luar dari keamanan dari pejalan kaki yang menjadi sorotan masalah, kondisi pejalan kaki di Jakarta juga dapat berkontribusi terhadap kesehatan jangka panjang dari masyarakat Jakarta. Sebuah "budaya" sudah berkembang di antara penduduk Jakarta, atau warga Indonesia, di mana orang-orang menjadi malas berjalan, bahkan dalam jarak yang relatif dekat.
Terlepas dari apakah perilaku ini berkembang dari rasa ketidakamanan para pejalan kaki atau bukan, perilaku tersebut dapat diturunkan dari orang ke orang, dari orangtua ke anak, dari generasi ke generasi, sehingga hal tersebut juga dapat menjadi rintangan terhadap pembangunan fasilitas jalan sendiri.
Hal tersebut juga berisiko mengurangi potensi jumlah aktivitas fisik yang dapat dilakukan oleh penduduk Jakarta dari berjalan kaki, seperti untuk berangkat dan pulang kerja. Kurangnya aktivitas fisik dapat menjadi faktor risiko dari berbagai penyakit tidak menular, seperti diabetes mellitus, penyakit jantung, dan stroke.