Aduuuh ... utang pemerintah melonjak lagi, melonjak lagi. Sekarang sudah ada di ribuan trilyun, tepatnya Rp 1.957 trilyun lebih sedikit. Sebentar lagi menyentuh Rp 2.000 trilyun. Walaaah .... kok banyak bener? Bayangkan, setiap warga menanggung utang Rp 8 juta. Atau setiap keluarga menanggung utang Rp 40 juta !
Alasan yang disampaikan selalu rasio utang terhadap PDB semakin rendah, dan termasuk yang paling kecil di antara negara-negara lain. Memang benar demikian, tapi harus dilihat resikonya dong. Rupiah melemah terus, de facto sebenarnya sudah nyaris Rp 10.000 per US Dollar, rawan terhadap gejolak krisis. Siapa bisa menjamin dalam situasi krisis Rupiah tidak anjlok lagi 5 kali lipat seperti tahun 1997 - 1998? Bahkan dalam krisis 2008 kurs Rupiah juga melemah banyak, tercatat 24 November 2008 ada di Rp 13.000 per US Dollar. Ayunannya sungguh luar biasa, dari Rp 8.500-an ke 13.000-an. Mana ada negara terpandang yang ayunan kurs mata uangnya sedemikian besar?
Dengan historis seperti itu, rasio utang terhadap PDB memang harus ekstrim kecil untuk menurunkan resiko ekonomi sekecil-kecilnya. Parameter atau kriteria yang dipakai tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain karena mata uang mereka jauh lebih stabil. Mata uang mereka juga kadang menguat dan kadang melemah, namun masih sangat wajar fluktuasinya.
Kalau utang pemerintah semakin besar saja dari waktu ke waktu, apa lantas warga menikmatinya dalam hidup mereka sehari-hari? Coba lihat deh ....... fasilitas jalan sehari-hari macet parah dan banyak yang berlubang-lubang. Warga harus bayar tol di jalan bebas hambatan supaya perjalanan lebih lancar. Listrik bayar, air bayar, di bandara bayar, pengurusan ijin bayar, pengurusan surat-surat juga bayar, akte kelahiran bayar, dan lain-lain bayar semua. Lantas utang segunung itu dirasakan manfaatnya di mana? Ingat beban utang per keluarga jadinya Rp 40 juta lho, warga juga yang harus membayar utang segunung itu dengan pajak-pajak mereka.
Selain tidak merasakan manfaatnya, warga hanya menikmati resiko ekonomi. Buktinya: harga-harga semakin mahal saja dari hari ke hari. Kalau ada gejolak, kenaikan harga bertambah liar.
Karena warga tidak merasakan manfaat-manfaatnya, alangkah fairnya kalau utang pemerintah yang segunung itu mestinya yang membayar pengembaliannya ya para pejabat itu sendiri. Mereka toh yang merasakan manfaatnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H