Demokrasi mengenal prinsip trias politika untuk menciptakan sistem yang adil, bersih dan saling mengontrol. Trias politika adalah kekuasaan eksekutif-legislatif-yudikatif. Kekuasaan pemerintahan, pembuatan UU beserta pengawasan pelaksanaannya, dan kekuasaan pengadilan.
Tiga kekuasaan itu seharusnya dipegang oleh orang-orang berbeda supaya tidak menimbulkan konflik kepentingan yang merugikan rakyat dan memusatkan kekuasaan ke satu orang tertentu. Prakteknya, trias politika hanya berjalan dengan baik di negara maju dengan warga yang sudah terdidik. Di negara terbelakang, prakteknya selalu saja diselewengkan dan pelaku kekuasaan cenderung mencoba memegang tiga kekuasaan itu dalam kontrol satu orang.
Praktek yang dilakukan adalah dengan mengusahakan para anggota famili dari pemegang kekuasaan pemerintahan untuk duduk dalam posisi-posisi kunci di parlemen dan kekuasaan pengadilan. Baik itu anak penguasa itu, isterinya, menantu, besan, calon besan, paman, ipar, keluarga mertua, dan lain-lain. Pokoknya sebanyak mungkin anggota famili diberikan kedudukan dan posisi-posisi kunci. Tidak hanya di tiga kekuasaan itu, tapi bahkan meluas di kekuasaan-kekuasaan lainnya seperti militer, organisasi bisnis, organisasi keagamaan, dan lain-lain.
Praktek itu tidak kalah dari iklan mobil kijang yang bisa memuat papa, mama, kakak, adik, oma, opa, dan paman!
Manusia memang cenderung tidak pernah puas kalau memikirkan keinginan dan keserakahannya, terutama dalam hal kekuasaan. Maunya menguasai posisi tertinggi, sebanyak mungkin dan selama mungkin. Mungkin berpikirnya biar saja tidak memikirkan kesejahteraan rakyat, biar saja program dan kebijakan tidak jalan yang penting kekuasaan langgeng, uang masuk sebanyak mungkin supaya bisa membiayai ongkos politik, supaya bisa membangun istana pribadi, memperluas aset-aset dan famili kaya raya.
Mereka bisa saja mengumbar keinginan dan keserakahan dengan berbagai justifikasi dan alasan pembenaran, tapi sebagai rakyat kita tidak boleh terbodohkan. Kalau sudah waktunya dan situasi sudah keterlaluan, Tuhan akan memberi jalan perubahan menuju kebaikan.
Kita bandingkan dengan kenegarawanan pemimpin kita jaman dulu. Lihat saja Sultan HB IX, yang justru mau menyerahkan kerajaannya kepada satu negara kesatuan Republik Indonesia! Dengan demikian yang tadinya beliau memimpin dan memegang kekuasaan tertinggi kerajaan, menjadi hanya sebagai gubernur di negara RI! Betapa mulianya beliau, jauh dari kualitas para pemimpin sekarang!
Praktek yang diselewengkan, trias politika tidak dipegang oleh kekuasaan yang benar-benar saling independen, tapi dipegang oleh para anggota famili!
Kalau di sebuah negara demokrasi ternyata kekuasaan-kekuasaan kunci itu sudah dipegang oleh satu famili tertentu, maka sebenarnya tidak ada lagi demokrasi yang efektif di negara itu. Demokrasi sudah terdistorsi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H