Lihat ke Halaman Asli

Mis Manajemen Dalam Pengorganisasian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Diperbarui: 28 Desember 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pengadaan barang/jasa pemerintah, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan daerah. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan pengelolaan pengadaan barang/jasa yang efektif dan efisien, pemerintah terus menata prosedural dan pengorganisasian pengelolaan pengadaan barang/jasa. Yang terakhir melalui penerbitan Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun tidak demikian dengan pengorganisasian pengelolaan keuangan daerah di jajaran Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

 

Ketika Perpres Nomor 54 Tahun 2010 diterbitkan pada 6 Agustus 2010, terasa ada yang tidak nyambung antara pengorganisasian pengadaan barang/jasa pemerintah dan pengelolaan keuangan daerah. Didalam implementasi dan sinkronisasi kedua kebijakan dimaksud, LKPP dan Menteri Dalam Negeri waktu itu harus menerbitkan instrumen pendukung yaitu Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 027/824/SJ, tanggal 15 Maret 2011, perihal Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang Jasa Pemerintah dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

 

Walaupun Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 027/824/SJ, tanggal 15 Maret 2011 tampaknya memberikan jalan keluar yang dapat menjadi pengungkit bagi implementasi pengadaan barang/jasa dan pengelolaan keuangan daerah dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, justru melahirkan suatu paradoks yaitu terjadinya mis manajemen dalam pengelolaan dan pengorganisasian pengadaan barang/jasa pemerintah dan pengelolaan keuangan daerah, yang pada gilirannya pejabat yang terlibat didalam pengorganisasian pengadaan barang/jasa pemerintah dan pengelolaan keuangan daerah rentan terhadap pelanggaran hukum dan sewaktu-waktu mudah untuk di kriminalisasi.

 

Berdasarkan ayat (1) Pasal 7 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dinyatakan bahwa para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa dinyatakan sebagai organisasi pengadaan barang/jasa yang terdiri atas:

  1. PA/KPA;
  2. PPK;
  3. ULP/Pejabat Pengadaan; dan
  4. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan.

Sedangkan berdasarkan Pasal 10, 11, 12, 13, 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 organisasi pengelolaan keuangan daerah adalah:

  1. PA/KPA;
  2. PPTK;
  3. Pejabat Penatausahaan Keuangan Daerah;
  4. Bendahara Penerima dan Bendahara Pengeluaran.

Kedua kebijakan ini menunjukkan persamaan dan perbedaannya. Bahwa melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2010 telah dilakukan pemisahan antara tugas pengguna anggaran/pengguna barang dengan pejabat yang mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain, sedangkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, tugas pengguna anggaran/pengguna barang dan yang mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain masih oleh satu pejabat. Bahkan pejabat dalam organisasi pengelolaan keuangan daerah tampak mubajir, karena dalam penjelasan (Ayat 3) Pasal 7 Perpres Nomor 54 Tahun 2010, PPTK disebut sebagai salah satu dari tim pendukung yang dibentuk oleh PPK untuk membantu pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.

 

Untuk mengangkat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 menjadi sinkron dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, harus dengan mengeluarkan sebuah intrumen kebijakan yaitu Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 027/824/SJ, tanggal 15 Maret 2011 antara lain menyatakan bahwa dalam hal PA belum menunjuk dan menetapkan PPK maka PA menunjuk KPA, KPA bertindak sebagai PPK dan PPK tetap melaksanakan tugas dan kewenangan PA/KPA untuk menandatangani kontrak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005.

 

Dalam kaitannya dengan pengorganisasian pengadaan barang/jasa sesuai dengan ayat (1) Pasal 7 Perpres Nomor 54 Tahun 2010 jo Pasal 10, 11, 12, 13, 14 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, paling tidak ada 15 langkah prosedural dan pengorganisasian yang dilakukan yaitu:

  1. Perencanaan Pengadaan;
  2. Pembentukan Pokja/Pengangkatan Pejabat Pengadaan;
  3. Prakualifikasi penyedia barang/jasa;
  4. Penyusunan Dokumen Lelang;
  5. Pengumuman Pelelangan;
  6. Penentuan Harga Perkirakan Sendiri (HPS);
  7. Penjelasan Lelang;
  8. Pemasukan Penawaran Harga dan Pembukaan Penawaran;
  9. Evaluasi Penawaran;
  10. Pengumuman Calon Pemenang;
  11. Sanggahan Peserta Lelang;
  12. Penetapan/Penunjukan Pemenang Lelang;
  13. Penandatangan Kontrak Perjanjian;
  14. Tangan Surat Perintah Membayar (PPSPM);
  15. Penyerahan Barang/Jasa kepada User;

Sebagaimana diketahui bahwa sejalan dengan penetapan DIPA/DPA, pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran tahun anggaran berjalan. Sebagai implikasi dari Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 027/824/SJ, tanggal 15 Maret 2011, KPA otomatis menjadi PPK. Rangkap jabatan KPA dan PPK telah mengakibatkan bersatunya organisasi steering (pengarah) dengan organisasi rowing (pendayung). Pejabat KPA akan mengalami konflik peran dan konflik kepentingan antara mendahulukan tugas pokok dan fungsinya antara sebagai KPA dan sebagai PPK. Paling tidak sebagaimana diungkapkan oleh Osborne dan Gaebler melalui bukunya yang terkenal dengan “Reinventing Government”, bahwa dengan bersatunya organisasi atau peran steering dengan rowing akan melupakan tugas organisasi apakah sebagai steering atau rowing.

 

Kemudian kecenderungan organisasi ULP melekat pada salah satu divisi/bagian organisasi di sekretariat kementerian dan/atau sekretariat pemerintah provinsi, kabupaten/kota, secara tidak disadari telah menabrak ayat (7) Pasal 17 Perpres No. 70 Tahun 2012 yaitu terjadinya tumpah tindih jabatan antara KPA merangkap PPK sebagai Kepala ULP.

 

Tidak jelasnya pemisahan tugas antara KPA dengan PPK, dan adanya adanya konflik peran dan kepentingan dan terjadinya tumpah tindih jabatan antara KPA sebagai Kepala ULP merangkap PPK potensial menularkan berbagai penyakit birokrasi dan potensi KKN yaitu:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline