Oleh. Eduardus F. Lebe
Yang membedakan orang beragama dan tidak, hanyalah sebatas simbol yang dikenakan. Soal moralitas bisa sama bejatnya. ~Eduardus F. Lebe
Dipengantar ini, penulis berharap agar tulisan tidak di take down admin Kompasiana. Tulisan ini merupakan ekpresi kemarahan dan kegundahan penulis setiap fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Terutama permasalahan keserakahan dan kemunafikan atas nama Agama dan Tuhan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk merendahakan kelompok tertentu. Hanya argumentasi yang merespon seluruh bentuk kemunafikan. Selain itu, mensupport lembaga agama agar berperan secara bijaksana dalam pembangunan di negeri ini. Bukan malah sebaliknya!
Secara eksplisit tulisan ini tidak ditujukan pada kelompok atau agama tertentu. Ini adalah pendapat pribadi penulis dan bukan dimaksudkan untuk agama secara kelembagaan. Namun, mengkritik oknum-oknum yang mengatasnakan agama namun kelakuannya bejat dan tak bermoral.
Penulis memang bukan ahli agama, tidak pandai dalam menafsikan ayat-ayat kita suci. Namun, pada tataran pelaksanaan nilai-nilai keagaaman, pemuka agama bukan otoritas penuh penentu kebenaran. Semua boleh meyanggah, namun bagi penulis begitulah seharusnya.
Otoritas agama secara kelembagaan tidak boleh eksklusif sehingga tidak bisa dikontrol. Umat diberikan kebebesan untuk menyampaikan pendapat tentang nilai-nilai kemanusian. Dengan demikian, setidaknya agama tidak dipandang sebagai obat bius seperti apa yang dikemukan oleh Karl Marx (1843).
Akan tetapi, perlu diakui bahwa banyak penafsiran yang bermunculan tentang pendapat Marx. Kutipan tersebut merupakan potongan lengkap dari pendapat Mark berikut:
Die Religion ist der Seufzer der bedrängten Kreatur, das Gemüth einer herzlosen Welt, wie sie der Geist geistloser Zustände ist. Sie ist das Opium des Volks
Yang artinya: Agama adalah desah napas keluhan dari makhluk yang tertekan, hati dari dunia yang tak punya hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Ia adalah opium bagi masyarakat (umat).
Penggalan dari pendapat Marx yang dianggap kontrovesi oleh hampir semua umat beragama. Marx dianggap sebagai orang yang anti terhadap agama. Menyamakan agama sebatas obat penenang "semu". Letak krusialnya adalah mengasosiasikan agama sama dengan barang haram "opium" telah mereduksi esensi dasar lahirnya agama.
Sebagian kalangan justru menilai penggalan pendapat tersebut tidak bisa ditafsirkan seluruh pokok pikiran Marx. Oleh mereka, Mark sesungguhnya sangat mengapresiasi agama yang bertidak sebagai penenang jiwa yang rapuh. Dengan kata lain, agama telah menjadi peringan beban pikiran manusia. Ini menunjukan bahwa eksistensi agama menjadi fundamental dalam menggairahkan kehidupan umat manusia.
Terlepas dari setuju atau tidaknya pendapat Marx, kita perlu menyadari bahwa bisa saja kehadiran agama menguatkan pendapat yang pertama yaitu agama hanya membuat umat terbuai dalam imajinasi iman yang liar. Sekali lagi ini dilatarbelakangi oleh mentalitas pemimpin agama yang kurang ngajar, culas dan bringas.