Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim baru-baru ini telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Aturan ini dimuat dalam Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditandatangani oleh Nadiem pada 31 Agustus 2021 (kompas.com, 27/10/2021)
Ada asap tentu ada api, begitulah kira-kira kita menganalogikan lahirnya Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021. Tentu ada faktor yang melatarbelakangi sampai keputusan ini dikeluarkan. Salah satunya karena banyak terjadi kekerasan di lingkungan kampus.
Dalam Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Kekerasan seksual berdasarkan pengertian tersebut dapat dikategorikan menjadi dua tinjauan yaitu fisik dan verbal. Tinjauan fisik bisa terjadi secara langsung (bersentuhan) atau pun tidak langsung (tidak bersentuhan). Kekerasan verbal pun juga demikian.
Sebagai dosen dan juga penulis yang berkonsentrasi pada dunia pendidikan saya mendukung penuh dikeluarkan nya Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 ini. Hal ini merupakan langkah konkret pemerintah dalam rangka menciptakan suasana kampus yang bebas dari kekerasan. Dalam hal ini adalah kekerasan seksual.
Jika kita menelisik lebih dalam peraturan tersebut pada bagian kedua tentang pencegahan kekerasan seksual oleh Pendidik dan Tenaga Kependidikan secara individu yaitu membatasi pertemuan antara pendidik dengan mahasiswa secara individu:
1. di luar area kampus;
2. di luar jam operasional kampus; dan/atau
3. untuk kepentingan lain selain proses
pembelajaran, tanpa persetujuan kepala/ketua program studi atau ketua jurusan.
Secara eksplisit mekanisme pencegahan yang dimaksudkan dalam peraturan tersebut memiliki tujuan yang mulia. Akan tetapi pada tataran implementasi sulit untuk dilaksanakan bila tidak dilandasi oleh moralitas individu yang mumpuni. Sebab, yang paling utama adalah kesadaran akan hakekat profesional di dalam dunia kerja (bagi pendidik). Sedang bagi mahasiswa harus sadar diri akan eksistensi sebagai generasi penerus sekaligus sebagai harapan di dalam keluarga.