Sebaik-baik nya manusia tidak akan terus-menerus menolong sesama dan seburuk-buruk nya manusia pasti pernah menolong sesama.
Naluri menolong sesama adalah kodrat alamiah yang secara sadar terbentuk dari hasil refleksi pengalaman hidup masing-masing. Rasa belas kasihan dalam diri seseorang seiring tumbuh bersama pengalaman hidup bersama orang lain.
Tolong menolong dalam kehidupan manusia merupakan hal yang biasa dan hampir semua orang melakukannya. Yang luar biasa adalah keseringan menolong sehingga mendapatkan julukan "sang penolong". Jika sudah demikian, maka hari-hari akan melakoni hidup sebagai penolong orang lemah (susah).
Apakah manusia bertahan dalam melakoni hidup sebagai penolong sejati? Pertanyaan macam apa ini? Pertanyaan yang menginginkan jawaban atas "kemampuan" dan "daya tahan" manusia sebagai penolong bagi sesama.
Jawaban kapan seseorang harus menolong, kepada siapa harus menolong, untuk apa menolong adalah hal yang penting. Walau pun terkesan sedang mempertentangkan esensi dasar dari tolong menolong.
Semua agama mengajarkan kepada umatnya untuk saling menolong. Tentu menolong dengan keikhlasan hati. Menolong tanpa mengharapkan imbalan, menolong dengan segenap hati dan pikiran. Singkatnya, manusia diajarkan untuk menolong tanpa pamrih. Mampukah?
Agama boleh saja mengajarkan hal-hal baik termasuk dalam hal menolong. Akan tetapi apalah dayanya, manusia adalah makhluk yang tidak luput dari kekhilafan.
Seiring dengan ego yang menempatkan manusia pada ketidakpuasan terhadap apa yang diberikan kepada orang lain. Tuntutan timbal balik atas apa yang diberikan menjadi titik awal ketimpangan cara pandang mengenai pertolongan.
Manusia bukan Malaikat Penolong
Sebagai manusia biasa kita tentu tidak bisa samakan dengan malaikat penolong. Kita memberi dari apa yang kita punya dan kita tidak akan memberikan dari "ketidakpunyaan". Pemaknaan jelas bahwa dalam hal memberi manusia tunduk pada kemampuan yang dimilikinya.