Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
(Penulis, Konsultan Skripsi dan Dosen)
Masyarakat Kecamatan So'a, Kabupaten Ngada, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikejutkan dengan adanya peristiwa naas yang menimpa salah satu pelajar.
Berdasarkan laporan dari berbagai media lokal telah terjadi kekerasan yang berujung pada kematian seorang pelajar. Pelaku adalah teman korban di salah satu sekolah menengah kejuruan di kecamatan So'a.
Yang mengejutkan lagi bahwa kekerasan tersebut terjadi karena hal sepele.
Berdasarkan laporan, pelaku marah lantaran korban masukan garam kedalam mulutnya saat tidur. Pelaku bangun dan langsung memukul korban hingga korban kehilangan nyawa.
Ada banyak informasi yang masuk, namun bagi penulis kronologis peristiwa tersebut tidaklah penting. Yang pasti telah terjadi kekerasan di kalangan pelajar.
Kekerasan di kalangan pelajar seperti mengulangi cerita lama dengan berganti peran. Kekerasan di kalangan pelajar, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kenakalan remaja. Padahal, kasus kekerasan di kalangan pelajar seringkali berujung maut.
Ironisnya, kasus kekerasan dikalangan pelajar dianggap sebagai fenomena biasa dan bukan tanggung jawab dari sistem pendidikan. Dalam artian bahwa kekerasan terjadi bukan karena kegagalan dari proses pendidikan. Betulkah demikian? Lalu bagaimana peran pendidikan dalam mengatasi kekerasan ini?
Jika diuraikan secara detail banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan di kalangan pelajar. Kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar secara masif menunjukkan indikasi ada sistem yang gagal. Sehingga bukan lagi bicara kasus, namun perbaikan akan sistem yang dibentuk baik dilingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat.