Oleh. Eduardus Fromotius Lebe
Titik waktu penuh drama, awal baik untuk sebuah cerita, alur berubah tak sesuai harapan, impian itu ternyata tak bermakna, yang tergadai oleh rayuan manis tanpa sela. Ini Pilu tanpa luka.
Dari Nalar yang terkoyak sampai jiwa yang rapuh, semu bagai fatamorgana. Menawar madu, memberi Tuba, agar lenyap dahaga dunia. Mungkin begitu hakikatnya, namun Nurani tak harus digadai.
Ini bukan kutukan, Ini hanya teguran. Duri menancap, suara mencekik, cacian datang silih berganti. Tak ada lagi simpati apa lagi empati, bersorak penuh dengki, meratap penuh kebahagiaan.
Ini bukan dunia sesungguhnya. Ini imajinasi sekelompok manusia. Intrik penuh taktik, nestapa tanpa batas. Pasrah dalam dalam Doa, berharap sang Pemilik Hidup menjawab. Ini sepenggal kisah sang musafir kehidupan.
Masih adakah harapan? Semoga saja tak ada lagi kabut. Agar setiap insan menyaksikan birunya langit. Menyambut rembulan, menanti sang mentari, itulah asa yang yang di nanti. Semoga sang kuasa merestui. Amin
Mengeruda, 7 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H