Lihat ke Halaman Asli

Edi Santoso

terus belajar pada guru kehidupan

Mengingat Kembali Pelajaran Ramadhan

Diperbarui: 15 Juni 2018   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Hari ini, satu syawal, kegembiraan kita membuncah, seiring gegapnya suara takbir yang dilantunkan jutaan Muslim. Kita memang layak bergembira, karena terus menjaga harapan bahwa Allah telah menerima amal-amal kita. Karena Allah telah berjanji, akan memberi ampunan melalui puasa kita, sholat malam kita, atau ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan.

Inilah hari, sebagaimana dikatakan para ulama salaf sebagai momen fitri, di mana suatu kaum telah kembali dalam keadaan sebagaimana ibu mereka melahirkan mereka.

Az Zuhri mengatakan, "Ketika hari raya Idul Fithri, banyak manusia yang akan keluar menuju lapangan, tempat pelaksanaan shalat 'ied. Allah akan menyaksikan mereka, dan mengatakan, "Wahai hambaku, puasa kalian adalah untuk-Ku, shalat-shalat kalian di bulan Ramadhan adalah untuk-Ku, kembalilah kalian dalam keadaan mendapatkan ampunan-Ku."

Sungguh, Ramadhan adalah bulan ampunan, sampai-sampai ulama seperti Qatadah rahimahullah mengatakan, "Siapa saja yang tidak diampuni di bulan Ramadhan, maka sungguh di hari lain ia pun akan sulit diampuni."

Tapi kesedihan juga hadir, mengikuti takbir-takbir yang perlahan hilang di angkasa, karena menjadi penanda bahwa Ramadhan telah pergi. Begitulah yang dirasakan para Sahabat dan ulama salaf, betapa dada mereka sesak ketika melepas perginya bulan suci ini. Karena, Ramadhan belum tentu kembali, sementara barakah dan ampunan yang dibawanya juga belum tentu sudah melimpah padanya.

Ketika dikatakan kepada mereka, bukankah ini hari kebahagiaan? Mereka menjawab, "Kalian benar. Akan tetapi aku adalah seorang hamba. Aku telah diperintahkan oleh Rabbku untuk beramal, namun aku tidak mengetahui apakah amalan tersebut diterima ataukah tidak."

Pelajaran dari sikap para pendahulu kita itu adalah pentingnya menjaga perasaan harap dan cemas (khouf wa roja). Di satu sisi, tetap menjaga optimisme bahwa Allah akan memberikan ampunan dan pahala. Di sisi lain, tetap khawatir, jangan-jangan amal-amal kita tertolak. Optimisme akan memberikan kebahagiaan dan semangat, sedangkan kekhawatiran akan membuat kita waspada dan berhati-hati....

Dengan segala perasaan kita dalam melepas Ramadhan itu, sikap paling rasional dan bijak adalah mengingat-ingat kembali pelajaran yang telah diberikannya kepada kita, untuk kemudian kita ikhtiarkan menjadi bagian dari sikap kita, karena itulah makna kehadiran Ramadhan sebagai bulan pendidikan (syahrut tarbiyah).

Pertama, Ramadhan mengajarkan kita makna ikhlas. Puasa adalah ibadah istimewa, di mana terjadi hubungan khusus antara hamba dan penciptanya. Kata Ibnu Hajar rahimahullah, "Bahwa puasa tidak terjadi di dalamnya riya' sebagaimana terjadi pada selainnya." Menjadikan ibadah semata karena Allah, itulah ikhlas. Maka, Allah swt memberi ganjaran istimewa bagi mereka yang berpuasa. Dalam salah satu hadist, Rasulullah saw bersabda:

"Setiap amalan anak Adam dilipatkan, satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh lipat sampai tujuhratus kali lipat, Allah Azza wa Jalla berfirman: Kecuali puasa, karena sesuangguhnya ia adalah milik-Ku dan Aku Yang akan mengganjarnya, (karena) ia telah meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku."

Kedua, Ramadhan mengajarkan kita makna dari kata 'cukup'. Puasa membatasi kita untuk mengkonsumsi makan dan minuman, meskipun itu milik kita sendiri. Makan tiga kali, menjadi dua kali. Faktanya, kita tidak bermasalah secara kesehatan, bahkan menurut berbagai studi, puasa menjadikan orang lebih sehat. Pembatasan bukan mencelakakan, tetapi justru menyehatkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline