Lihat ke Halaman Asli

Edi Santoso

terus belajar pada guru kehidupan

Buat Saja Daftar Mubalig Radikal!

Diperbarui: 22 Mei 2018   08:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kementeria Agama (Kemenag) telah melansir sederet nama mubaligh rekomendasi pemerintah, yang kontan disambut dengan kontroversi. Sebagai sebuah pesan, daftar itu memang sarat tanda. Dan sebagaimana perspektif semiotika (ilmu tanda), pada akhirnya di pihak masyarakat lah (sebagai pembaca tanda), makna atas pesan itu terbangun. Kontroversi semestinya sudah terprediksi.

Entah makna apa yang diharapkan pemerintah tumbuh di kepala masyarakat dengan menetapkan 200 nama mubaligh itu. Tapi kalau mereka memahami semiotika, setidaknya bisa memperkirakan beberapa makna yang akan muncul. 

Pertama, makna literal, bahwa ini semata daftar nama-nama, tak berbeda dengan beraneka daftar yang dikeluarkan kementerian bagi masyarakat. Mungkin ini makna yang diharapkan pemerintah. Apalagi, sebagaimana dikatakan Menteri Agama, kemunculan rekomendasi tersebut semata respon atas permintaan masyarakat. Sebagai sebuah daftar rekomendasi, masyarakat diharapkan akan menjadikannya sebagai panduan.

Tak bisa dipungkiri, isu radikalisme menjadi latar balakang kemunculan rekomendasi tersebut, terutama sejak meledaknya kembali bom-bom teroris belakangan ini. Jadi kalau dianalisis secara sintagmatik, daftar itu berarti, "Ini lho, nama-nama mubaligh kompeten yang moderat, santun, dan pro NKRI." Jadi, kalau masyarakat mau menyimak ceramah yang bermutu dan damai, undanglah mereka.

Kedua, mubaligh santun vs radikal. Dalam analisis paradigmatik, ketidakhadiran tanda adalah tanda itu sendiri. Kalau ada 200 mubaligh yang masuk daftar, bagaimana dengan yang lain? Jika daftar itu berisi mubaligh yang santun dan proNKRI, apakah berarti yang lain radikal dan tak loyal pada bangsa ini? Jadi, melihat latar belakang dan urgensi edaran itu menurut pemerintah, daftar ini akan memunculan makna kompeten vs inkompeten, santun vs radikal, proNKRI vs Tak loyal NKRI (Pro khilafah?), dan seterusnya.

Menteri agama berdalih, itu hanya daftar sementara. Jumlahnya bisa terus bertambah, sesuai dengan masukan masyarakat. Tapi selama masih ada daftar itu, maka akan selalu ada mereka yang tidak berada di dalam daftar. Maka selama itu, wacana mereka yang direkomendasi dan tidak akan terus ada. Pertanyaannya, memang berapa banyak mubaligh yang mau dimasukkan daftar oleh pemerintah? Dengan jumlah Muslim yang hampir 200 juta, tentu akan ada ribuan atau bahkan jutaan mubaligh dalam masyarakat. Apalagi, dalam Islam, kewajiban menyampaikan dakwah, menjadi kewajiban bagi setiap Muslim.

Sulit dipungkiri, daftar itu akan berhadapan masyarakat yang masa bodoh. Kehidupan agama selama ini lebih berlangsung secara kultural. Kebijakan-kebijakan struktural tak banyak berpengaruh. Jadi kalau menurut Pak Menteri daftar itu muncul karena masyarakat, pertanyaannya, masyarakat yang mana? Mungkin hanya beberapa elite yang bersuara. Sebagaian besar masyarakat tak peduli, apalagi pada akhirnya soal kapabilitas dan integritas mubaligh, masyarakatlah yang menilai, bukan pemerintah.

Jika akar masalahnya adalah radikalisme, rilis daftar itu nampaknya tak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru akan berpotensi 'membelah'masyarakat. Perdebatan akan terus terjadi menyangkut mereka yang ada dalam daftar dan yang tidak. Banyak energi akan terkuras, sementara akar radikalisme justru tak tersentuh.

Memang ada beberapa mubaligh yang ceramahnya penuh provokasi, tapi jumlahnya tidak banyak. Jauh lebih banyak mubaligh yang ceramahnya adem. Maka, alih-alih buat daftar mubaligh santun, pemerintah lebih baik buat daftar 'mubaligh radikal'. Ini seperti dalam urusan makanan, kenapa MUI tak buat label makanan haram saja, ketimbang buat label halal, karena jumlah makanan halal jauh lebih banyak. Dengan membuat daftar mubaligh radikal, daftarnya dijamin tak akan sepanjang mubaligh santun. Pemerintah, kemudian tinggal membuat  penjelasan, kenapa mereka dianggap radikal. Dan tentu saja, karena kita di negara demokratis, pemerintah harus siap digugat jika cerobah membuat kriteria atau salah memasukkan orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline