Lihat ke Halaman Asli

Edi Santoso

terus belajar pada guru kehidupan

Menghakimi Makna

Diperbarui: 13 Oktober 2016   00:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontroversi pernyataan Ahok seputar al Maidah 51 masih berlanjut. Hal yang wajar, tentu saja, terlebih isu ini memiliki nilai politik, khususnya dalam Pilkada DKI 2017 yang kian memanas. Saya tertarik ikut nimbrung dalam hiruk pikuk ini, bukan dalam konteks politik, tetapi pada dimensi budaya dan komunikasi (ini sekaligus sebagai discalimer, bahwa tulisan ini tak ada kaitannya dengan dukung mendukung calon gubernur).

Pernyataan bahwa 'Ahok menghina al Qur'an' adalah makna yang terbangun dalam diri seseorang, begitu juga dengan pernyataan bahwa 'Ahok sebetulnya tidak sedang menghina al Qur'an. Pidato Ahok  depan warga Kepulauan Seribu adalah satu hal, sedangkan interpretasi atas pidato itu adalah hal lain. Makna tidak melekat dalam pesan, tetapi terbangun dalam kepala kita masing-masing. Audiens Ahok dalam pertemuan itu tak bereaksi marah, bahkan terdengar tertawa (setidaknya yang tertangkap dalam video rekaman). Entah makna apa yang terbangun dalam kepala mereka. Kita tidak tahu persis, sama halnya kita tak bisa memastikan apakah Ahok memang berniat menghina Qur'an atau tidak. Ahok sendiri (dan Tuhan, tentu saja) yang tahu.

Ketika rekaman video itu disebarluaskan, baru muncul reaksi yang mengecam, bahkan ada yang segera melaporkannya ke polisi. Ketika rekaman itu disebarluaskan melalui media, maka sudah tak lagi menjadi realitas pertama, tetapi realitas kedua (constructed reality). Aspek nonverbal (suasana kebatinan) dalam pertemuan itu tak sepenuhnya hadir dalam media. Apalagi, jika sudah disertai kata-kata atau labelling, misalnya 'Ahok Hina Al Qur'an'. Statemen bahwa Ahok menghina al Qur'an pun menggema di mana-mana. Tapi, makna yang muncul tak sama. Banyak juga yang setelah melihat rekaman itu tetap beranggapan berbeda, misalnya bahwa sebetulnya pernyataan Ahok tak sepeti itu maksudnya. Bahkan di antara yang pro maupun kontra itu pun makna yang terbangun tak persis sama. Makna atas pesan media itu polysemic (beragam, personal, subyektif).

Jadi, sulit menggunakan perspektif hitam putih dalam pro kontra pernyataan Ahok itu, karena masing-masing punya reason nya. Misalnya, yang pro Ahok berpendapat bahwa makna 'pemimpin' (awliya) dalam ayat tersebut masih diperdebatkan. Ada beberapa ulama (misalnya al Mawardi) yang membolehkan pemimpin non Islam untuk jabatan di luar pemimpin tertinggi (khilafah) dan jabatan strategis dalam urusan agama. Jadi, kalimat Ahok tentang 'dibodohi pakai al Maidah' itu dimaknai sebagai politisasi ayat. Ahok tak menghina Qur'an, tapi menyindir politisasi dengan menggunakan ayat Qur'an.

Sementara itu yang kontra Ahok, mungkin beranggapan makna ayat tersebut jelas, bahwa mengangkat pemimpin non Islam dalam berbagai level itu terlarang. Mereka melandaskan dengan keumuman ayat di atas dan beberapa ayat lainnya yang senada (misalnya, pendapat Haromain Al-Juwaeni). Jadi, ketika Ahok menyebut 'membodohi pakai al Maidah' pada dasarnya menentang isi Qur'an, dan itu artinya penghinaan.

Makna itu sendiri terbangun secara intersubyektif, lahir dari interaksi satu orang dengan yang lainnya (seperti dijelaskan teori interaksionisme simbolik). Jadi, selain subyektif, makna juga dinamis. Orang yang hadir dalam pertemuan di Kepulauan Seribu yang awalnya tak menganggap serius pernyataan Ahok bisa jadi berubah pikiran, setelah melihat berbagai perdebatan di media. Sebaliknya, mereka yang emosi mendengar kabar tentang penistaan agama itu juga bisa berubah sikap setelah melihat pertukaran pandangan di media. 

Pro kontra ini sebetulnya positif selagi bisa bertaut dalam dialog. Tapi kalau tendensinya kebencian dan antipati, yang tersisa hanya emosi yang mudah tersulut. Mengutip Rita Kirk Whillock (dalam tulisan Prof Alois Nugroho, 2016), pesan kebencian pada hakikatnya adalah 'anihilis retoris' terhadap lawan. Pesan seperti ini hanya bertujuan meniadakan atau mematikan lawan. Tak ada dialog, sehingga diskursus menjadi macet. 

Secara hukum positif, mungkin saja Ahok tersandung. Karena kata-katanya itu bisa menjadi delik aduan, tergantung nanti bagaimana majelis hakim menafsirkan. Tapi, kalau mau jernih, ini sebetulnya problematis, karena melibatkan pemaknaan yang beragam. Wallau'alam.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline