Pagi kemarin, ramai sekali di dekat depan warung sayur pengkolan Ibu Karta berjejal sepeda motor para tukang ojek daring dan ojek pangkalan. Para tukang ojek tersebut tumpah ruah di dalam maupun di luar warung bubur indomie samping warung sayur Ibu Karta.
Ibu Jaka yang baru selesai berbelanja di warung sayur Ibu Karta dengan membawa gondolan plastik merah besar agak berjalan miring menerobos jejeran sepeda motor tukang ojek yang mengular dekat jalan tersebut. Selepas berhasil menerobos sela-sela spakbor sepeda motor, Ibu Jaka melongok ke arah warung bubur indomie sambil mencari sosok Pak Asep, tukang ojek langganannya. Nampaklah muka Pak Asep sedang asyik menyeruput secangkir kopi, dia tersenyum mengangguk ke arah Ibu Jaka, tanda sapaan.
Ibu Jaka penuh tanya berkata, " Pak Asep ini pagi kok tumben pada ramai nih tukang ojek nongkrong di warung? Pada tidak narik sewa apa?"
Pak Asep segera beringsut dari lapak tempat duduknya dan menghampiri Ibu Jaka, " Ini Bu, sekarang makin banyak orang yang tertarik jadi pengemudi ojek online lantaran dengar informasi dari yang sudah ngejalanin bisa dapat banyak uang. Memang dulu saya awal-awal gabung dua tahun yang lalu, menikmati gampangnya dapat order banyak, dapat uang banyak juga dapat bonus.
Sekarang, karena sudah banyak yang latah ikutan dan melimpahnya tukang ojek, sudah tentu orderan menjadi terbagi kemana-mana artinya order menjadi berkurang. Otomatis, penghasilan berkurang. Nah, kita sebagai mitra perusahaan ojek online minta kebijakan supaya tarif per kilometer dapat disesuaikan di aplikasi sehingga kami nyaman bekerja dan tidak tekor. Tapi belum dapat ditanggapi oleh pihak perusahaan, makanya kami inisiatif matikan aplikasi untuk sehari ini sebagai bentuk aksi kami. Nongkrong deh di sini berbagi cerita. Gitu Bu Jaka."
"Ya ampun Pak Asep, kasihan juga ya. Gimana anak dan istri Bapak sudah tahu gak kalo hari ini setoran cuma dari ojek mangkal langganan bukan dari aplikasi?" ujar Ibu Jaka.
"Sudah Bu, istri mengerti karena merasakan juga setoran ke dapur berkurang. Mau gimana lagi kalau nasib kami tukang ojek online ini lebih mirip karyawan ketimbang mitra kerja. Seperti gak punya kuasa, sudah dedikasi bekerja dari pagi sampai malam dan keliling mengukur aspal supaya pelayanan tersedia dan baik buat sewa...mengalir begitu saja gitu Bu", pungkas Pak Asep.
" Yang sabar ya Pak Asep. Ya udah saya pulang dulu ke rumah. Salam buat istri dan anaknya ya Pak."tanggap Ibu Jaka.
Itulah salah satu penggalan kisah kehidupan tukang ojek di kota Jakarta. Hiruk pikuk dan kepadatan lalu lintas serta kebutuhan akan kecepatan memaksa masyarakat Jakarta cenderung memilih solusi transportasi berbasis aplikasi daring, ojek online misalnya. Pengusaha usaha teknologi menangkap peluang dan kebutuhan transportasi kaum urban dan metropolitan menembus kemacetan kota Jakarta sehingga menerapkan aplikasi yang mudah digunakan dan menetapkan tarif ekonomis per kilometernya buat konsumen. Jelas ini solusi terbaik dari yang pilihan moda transportasi yang buruk.
Transportasi publik seperti kereta listrik dan bus transjakarta masih terbatas pada jalan-jalan utama sehingga masyarakat yang lebih banyak tinggal di pinggiran atau pelosok perkampungan kota cenderung memilih dijemput di tempat dengan aplikasi daring, tanpa ribet. Apalagi ongkos yang dibayarkan ekonomis.
Memilih ojek online memang moda transportasi yang cocok untuk jarak dekat atau hingga sampai di halte atau stasiun transportasi publik. Namun melihat transportasi publik sudah padat dan kadang tidak tepat waktu maka ojek online menjadi pilihan terpaksa untuk transportasi dari rumah hingga ke kantor ataupun tempat perbelanjaan yang berada di pusat kota, menembus kemacetan dan kesemerawutan lalu lintas serta menapaki jalan aspal berlubang Jakarta. Sudah rentan terkontaminasi polusi udara yang buruk juga rawan tersenggol sesama pengendara dan kecelakaan serta kriminalitas bagi pengguna ojek online.