Lihat ke Halaman Asli

EDROL

Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Musim Coblos Pilkada, Kenalilah Fenomena Si Bodoh dan Si Buta Huruf

Diperbarui: 14 Februari 2017   15:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pemilihan Pemimpin Politik (sumber: marta monteiro/ www.nytimes.com)

Suatu masa seorang pujangga Jerman, Bertolt Brecht pernah berceloteh demikian: “Buta huruf terburuk adalah buta huruf politik, dia tidak mendengarkan, tidak berbicara, ataupun tidak turut serta dalam kegiatan politik. Dia tidak mengetahui biaya hidup, harga kacang-kacangan, ikan, tepung, sewa rumah, sepatu, obat-obatan, semua tergantung pada keputusan politik. Kebuta hurufan akan politik demikian bodohnya sehingga dia bangga dan membusungkan dadanya berkata bahwa dia membenci politik. Si dungu ini tidak tahu bahwa, dari ketidaktahuan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua, politikus jahat, perusahaan nasional dan multinasional yang korup dan bermental jongos penjilat.” 

Pada masa yang lain seorang ilmuwan jenius, Albert Einstein berseloroh: “Ada dua hal yang tak terbatas, alam semesta dan kebodohan manusia; dan saya tak yakin tentang alam semesta. Perbedaan antara jenius dan kebodohan adalah jenius memiliki batas.”

Pada masa lainnya seorang pejuang ternama, Napoleon Bonaparte mengungkapkan, “Seorang manusia akan berjuang lebih keras untuk kepentingannya ketimbang haknya. Dalam politik, kebodohan bukanlah sebuah kecacatan.”

Pada akhirnya persepsi kebodohan, buta huruf, politik dapat bervariasi dan tak terbatas.

Bahkan ada kisah yang menyiratkan bahkan mengungkapkan bahwa penyebab lahirnya pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua, politikus jahat, perusahaan nasional dan multinasional yang korup dan bermental jongos penjilat adalah hasil dari kecerdasan politik penguasa yang menghasilkan keserakahan bukan lantaran kebuta hurufan politik.

Artinya sebagaimana seorang peneliti mengungkapkan, Semakin cerdas seseorang, semakin besar bencana hasil kebodohan mereka. Hal ini termasuk dalam politik, perayaan invasi Irak berfungsi sebagai pengingat bahwa orang cerdas dapat melakukan kebodohan monumental. Kalau di Indonesia, kebodohan politik yang menimbulkan bencana yang monumental adalah mengizinkan hasil perekonomian “gunung emas” dinikmati bangsa asing.

Kembali ke pemilihan politik kepala daerah, fenomena si bodoh dan si buta huruf akan selalu menggema. Mungkin bukan hanya pilkada semata tapi tajuk pemilihan umum lainnya seperti pilpres atau pileg. Masih dalam lingkaran yang sama, yakni bodoh dan buta huruf itu tak terbatas sifatnya dan bukanlah kecacatan.

Bagi politikus tidak ada kebenaran sejati yang ada adalah kepentingan sejati. Dia akan berusaha sekuat daya untuk kepentingannya ketimbang haknya. Kepentingannya untuk berkuasa meskipun haknya sebagai manusia merdeka telah disandera dan dibelenggu oleh organisasi partai. Tentunya tidak ada yang gratis di negeri ini. Semua wajib memberikan sumbangsih atau pun upeti, bahkan rakyat melarat sekalipun. Entah itu yang namanya kasih suara, bayar pajak, bayar iuran atau retribusi dan nama lainnya. Pada musim pesta atau perayaan politik seperti ini semua bisa berperan sebagai si bodoh atau si buta huruf baik itu pemilih, yang dipilih maupun yang tidak ikut memilih (golput).

Yang terpenting, jangan ada penyesalan bilamana negeri dimana kamu tinggal menjadi diluar harapanmu. Hal ini melanda hampir sebagian warga Amerika Serikat (yang terindikasi golput) ketika pada akhirnya Donald Trump terpilih jadi Presiden AS ke- 45, mereka menjadi resah dan berdemo akibat keterpilihan dan kebijakan kontroversial Presiden Terpilih . Para golput ini merasa yakin atau berharap Hillary Clinton yang bakalan terpilih. Ternyata kenyataan berkata lain, mereka menyesal.

Juga jangan terlalu banyak menaruh harapan tinggi kepada pemimpin politik seperti semuanya wajib disediakan oleh penguasa atau pemerintah entah itu sekolah gratis, pengobatan gratis, lapangan kerja luas, rumah murah, mobil murah.

Semuanya yang gratis itu ada pengorbanannya atau ada pajak tinggi yang harus dibayar, coba lihatlah negara maju yang semuanya gratis untuk rakyatnya, pajaknya luar biasa tinggi namun warga taat pajak dan menikmati hasilnya. Karena jalan kehidupan tak sepenuhnya atau melulu dipengaruhi oleh kepemimpinan politik, bila demikian maka pada ujungnya juga penyesalan, mungkin kebencian kepada proses politik atau pemimpin politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline