Penemuan korupsi sudah tercatat dalam buku karya bapak pendiri bangsa, buku Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita, yang diterbitkan oleh Panji Masyarakat pimpinan Buya HAMKA pada 1960, yang membuat marah Bung Karno dan menyatakan buku itu sebagai buku illegal dan dilarang beredar. Dalam buku Bung Hatta ini kecuali mengeritik Bung Karno yang menyelenggarakan pemerintahan Negara secara diktatur (dictatuur), Bung Hatta mengatakan karena sistem dan penyelenggaraan pemerintahan negara membiarkan terjadinya korupsi. Bung Hatta menulis di buku ini:
“…bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti ‘membagi rezeki’ … golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri memperoleh tugas dari partainya untuk memberi keuntungan bagi partainya. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya itu dengan memberi lisensi dengan pembayaran yang tertentu untuk kas partainya… atau dalam pembagian lisensi itu kepada pedagang dan importir, orang separtai dengan dia didahulukannya… seringkali keanggotaan partai menjadi ukuran (untuk jabatan tertentu), bukan berdasar ‘the right man in the right place’… akhirnya masuk partai bukan karena keyakinan, melainkan karena ingin memperoleh jaminan…suasana politik semacam itu memberi kesempatan kepada berbagai jenis petualang politik dan ekonomi dan manusia profetir maju ke muka, partai-partai politik ditungganginya untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Maka timbullah anarki dalam politik dan ekonomi. kelanjutannya, korupsi dan demoralisasi merajalela…” (Demokrasi Kita – 1960, cetakan 1966, hlm. 14-15).
Itulah pemahaman Bung Hatta 56 tahun yang lalu, dan masih relevan bahkan masih berlangsung dalam meski teriakan reformasi di tahun 1998 mulai menggelora namun seiring waktu menjadi pudar berubah wujud menjadi deformasi. Di titik ini pertanyaan yang timbul: "Inikah Demokrasi yang konon luhur dan mulia untuk kepentingan rakyat seutuhnya - dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat - yang kita idam-idamkan sebagai bangsa?"
Dari pemahaman kacamata seorang politikus, ekonom dan negarawan berpengalaman tersebut maka jelas korupsi berakar dari "bagi-bagi rezeki" entah itu kekuasaan/kewenangan, entah itu lisensi. Praktik demokrasi partai yang lumrah: dari partai, untuk partai dan oleh partai. Korupsi yang tadinya abnormal perlahan menjadi normal bahkan sudah menjadi sistem kepartaian. Dan pada akhirnya korupsi disamakan seperti budaya partai itu sendiri.
Budaya bangsa Indonesia itu Pancasila namanya, bukan korupsi. Lalu korupsi itu apa bukannya sudah jadi adab atau budaya politik Indonesia, seyogyanya mendekati kebenaran umum bahwa pelaku politik yang menghalalkan korupsi dan akhirnya mereka yang mayoritas berada di bagian legislasi, secara implisit melegalkan korupsi sebagai budaya mereka, mereka yang juga dianggap sebagai bahagian dari bangsa Indonesia.
Lalu sejauh mana pencerahan pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jawaban paling mudah adalah mengumumkan peringkat Indonesia lebih baik dari sebelumnya seperti grafik di bawah ini:
Rapor korupsi era Presiden Jokowi masih merah meskipun sudah bergerak ke peringkat no. 88 pada 2015 dari tahun sebelumnya no.107. Angka secara matematik hanya mewakili sebagian kecil dan cenderung tidak sesuai kenyataan. Namun hanya sebatas ini ukuran saat ini yang dapat dijadikan tolak ukur menggenjot pemberantasan korupsi di Indonesia. Perjalanan memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya hanya bisa dimulai dengan pemberdayaan sumber daya manusia birokrat dan reformasi sistem birokrasi yang transparan serta menutup celah transaksi keuangan yang mengarah kepada pencucian uang dari dalam negeri ke luar negeri.
Kesemuanya ini perlu visi pemimpin yang kuat dan jelas, tanpanya maka pemberantasan korupsi bagaikan jauh panggang dari api dan kesan tebang pilih selalu tampak. Tidak hanya sebatas slogan revolusi tapi seyogyanya diberikan porsi yang lebih kuat dan masif untuk mengakhiri dominasi korupsi yang menghasilkan kemiskinan dan kebangkrutan usaha perekonomian bangsa dan negara. Lembaga KPK sudah bekerja dengan cukup baik namun kalah jumlah dan kekuatan sehingga masih banyak dugaan korupsi tertunda penyelidikannya.
Bila lembaga sudah kewalahan maka perlu adanya sinergi kerjasama yang kuat dan pembagian tugas yang jelas seperti besaran skala korupsi dan petugas yang terlibat antara KPK dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan. Jangan ada lagi "cicak vs buaya" lainnya atau istilah "kriminalisasi Pimpinan KPK" yang melemahkan pengusutan korupsi antar lembaga. Untuk itu pemimpin Indonesia baik itu Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif harus selaras dan sepakat menggalang kekuatan bersama dan SATU VISI : Memberantas Kejahatan Luar Biasa, Benih Pengkhianatan Bangsa dan Bahaya Laten Korupsi sebagai hal yang luar biasa serius.
Sebagaimana seorang raja bijaksana dan masyhur yang hidup pada ribuan tahun lalu pernah berkata: "Bila tidak ada visi, maka liarlah rakyat. Berbahagialah orang yang berpegang pada hukum." Begitu kuatnya roh visi dan pegangan hukum sehingga menjadi dua pedoman yang wajib dalam memimpin entah itu kerajaan atau negara. Rakyat tenteram dan bahagia adalah hasil dari kekuatan visi dan penegakan hukum. Pada akhirnya kesadaran untuk kemajuan rakyat dan memberantas kemiskinan sejalan bila pemberantasan korupsi menjalankan tugasnya terlebih dahulu dengan masif.
Selamat Memperingati Hari Anti Korupsi !
Jakarta, 10 Desember 2016