Lihat ke Halaman Asli

EDROL

Petualang Kehidupan Yang Suka Menulis dan Motret

Dua Tahun Tragedi Pesawat MH370 dan MH17, Betapa Rapuhnya Keselamatan Penerbangan Dunia

Diperbarui: 26 Juli 2016   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Peristiwa dan Rekonstruksi Kedua Pesawat Malaysia Airlines

Dua tahun yang lalu pada awal dan pertengahan tahun 2014, seluruh dunia dikejutkan oleh dua peristiwa beruntun yang menimpa dua pesawat Boeing 777-200ER  milik Malaysia Airlines.

Peristiwa pertama, menghilangnya pesawat MH 370 setelah terbang di atas Semenanjung Malaysia pada FL 330 dari pantauan radar pada tanggal 7 Maret 2014 hingga sekarang tidak ditemukan baik bangkai pesawat maupun jenazah penumpang dan krunya, tentunya pesawat tersebut yang terbang dari Kuala Lumpur, Malaysia tidak pernah sampai tujuan akhir, yakni Beijing.

Empat bulan kemudian, terjadi peristiwa kedua, tepatnya tanggal 17 Juli 2014, pesawat MH17 diduga tertembak misil militer pada FL 330 saat melayang di wilayah udara Ukraina dalam rute penerbangan dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur, Malaysia.

Boleh jadi keduanya kebetulan pada FL 330 atau ketinggian terbang 33.000 kaki dan terjadilah peristiwa tersebut.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah dengan peristiwa tersebut, pilot hars waspada dan tidak berlama-lama di FL 330. Tentu kedua peristiwa boleh jadi acuan untuk mengubah ketinggian mungkin naik ke FL 350 atau  turun ke FL 290 atau FL 310.

Namun mengamati  berlimpahnya data radar dan satelit serta saksi mata yang tidak selaras atau simpang siur telah menghasilkan suatu keadaan peringatan bahwa dunia penerbangan modern masih membutuhkan terobosan teknologi mengawasi wilayah udara sebagai jalur terbang pesawat komersial.

Begitu kacaunya sistem penyelidikan penyebab hilangnya pesawat komersil atau tertembak jatuhnya pesawat komersil yang hingga saat ini tidak dapat kesimpulan akhir yang sarat faktual bukan asumsi seakan-akan organisasi dunia maupun negara-negara yang memiliki sumber daya dan fasilitas terbesar dan terbaik di dunia menjadi gagal mengawal ketertiban dunia sehingga konspirasi menjadi strategi keluar dan membuatnya menjadi sama sekali tidak terpecahkan penyebab apalagi sampai kepada pelaku kriminalnya.

Patut jadi pelajaran bersama, karena warga negara Indonesia turut menjadi bahagian dari korban tragedi tersebut. Negara juga berkewajiban mengawal dan menuntut penyelidikan hingga tuntas sehingga peristiwa ini dapat dihindari dan tidak terulang kembali.

Kecanggihan pesawat terbang modern sekelas Boeing 777-200 ER yang populasinya di dunia sebanyak 422 unit (nomor dua setelah Boeing 777-300ER menduduki peringkat pertama, 660 unit), belum mampu memberikan rasa aman bagi penumpang komersial juga kenyamanan maskapai melayani konsumennya.

Begitu banyaknya rekaman video dan saksi mata bahkan hingga dugaan adanya bukti rekaman satelit udara super canggih dan rekonstruksi puing pesawat dan penelitian investigator ulung sekalipun, belum sanggup mengungkap kebenaran penyebab kedua tragedi pesawat Boeing 777-200 ER milik Malaysia Airlines tersebut.

Betapa rawan kalau tidak mau disebut murahnya nyawa penumpang pesawat komersial terenggut sia-sia, bukan lagi karena kesalahan teknis pesawat ataupun human error apalagi cuaca buruk. Penyebab lainnya kini semakin menguat yakni serangan teror misil darat ke udara dan penghilangan satu pesawat tanpa terdeteksi radar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline