[caption id="attachment_393677" align="aligncenter" width="600" caption="Presiden Joko Widodo/Kompas.com"][/caption]
Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, beliau melakukan keputusan sesat kalau tidak mau dikatakan sebagai langkah blunder yakni memberhentikan pejabat Kapolri sebelum masa pensiunnya berakhir dengan alasan pertimbangan dari Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional). Pertimbangan Kompolnas melalui juru bicara Kompolnas yakni Ketua Kompolnas merangkap Menkopolhukam adalah percepatan penggantian kepemimpinan Polri dan merupakan hak prerogatif Presiden, sebagaimana yang saya kutip dari website kompolnas perihal Kapolri Idol ( sumber : http://www.kompolnas.go.id/kuesioner-siapakah-calon-kapolri-versi-masyarakat/).
Menurut pengetahuan saya, berdasarkan wawasan hukum dari Thomas Jefferson mengungkapkan bahwa hak prerogatif adalah kekuasaan yang langsung diberikan oleh konstitusi. Berdasarkan Konstitusi RI, yakni UUD 45 tidak menyebutkan pemberhentian dan pengangkatan Kapolri adalah kekuasaan langsung dan mutlak Presiden. Presiden mempunyai kekuasan langsung mengangkat dan memberhentikan pembantunya yakni menteri-menteri (Pasal 17 UUD 45). Pemberhentian dan pengangkatan Kapolri harus melalui persetujuan DPR sesuai undang-undang yang berlaku yakni UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian.
Mengapa penetapan calon Kapolri oleh Presiden tidak seperti saat memilih dan mengangkat pembantunya? Presiden bertindak sangat cerdas dan berhati-hati dengan melibatkan banyak penasihat seperti para ahli, konsultan tim sukses, KPK dan PPATK guna mengkonfirmasi kompetensi dan integritas pembantunya. Kali ini hanya serta-merta menyerahkan sepenuhnya kepada Kompolnas. Alhasil, calon tunggal Kapolri menyulut perdebatan politik hukum yang melelahkan yang berujung pada kemacetan roda pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut pemahaman saya, kelelahan akibat hantaman bencana alam dan musibah yang bertubi-tubi membuat Pak Presiden menjadi sangat praktis tanpa berhati-hati seperti hari pertama bekerja. Beliau sepertinya memotong singkat sistem berpikirnya dan terlalu percaya pada penasihat secara kelembagaan perihal Kepolisian dan melupakan penandatanganan Buku Putih KPK. Berencana mempercepat reformasi total Polri dengan menampilkan figur bersih dalam kepemimpinan Polri yang mampu menghentikan pencurian ikan dan melakukan revolusi mental kepada internal Polri guna siap tempur berperang melawan korupsi, alih-alih tersesat dalam faktor integritas pilihannya. Ini adalah buah hasil dari sedikitnya penasihat atau hanya mengandalkan nasihat Kompolnas bahkan juga kurang pertimbangan "benih integritas" . Mungkinkah beliau sudah lupa bahwa dengan banyak penasehat dan banyak pendukung positif dapat mendapatkan hasil yang gemilang yang menghantarkannnya menjadi Presiden ke-7 RI.
Hal ini mengingatkan saya akan kata-kata bijak tentang berperang dan kepemimpinan dari Raja Salomo yang bijak:
" Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat banyak. Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak."
Presiden kekurangan logistik perencanaan, pertimbangan dan penasihat dalam melakukan re-organisasi kepolisian sehingga jadi gagal memulai perang dengan kekuatan penuh.
Pada akhirnya, dalam beberapa hari ini beliau telah berhasil menguatkan kembali sistem berpikirnya dan mencoba peruntungan memperbaiki keadaan dengan membentuk banyak penasehat yang dinamakan tim independen 9 orang.
Genderang pemakzulan sudah mulai dikumandangkan akibat penundaaan atau mungkin pembatalan keputusan persetujuan DPR. Bila calon Kapolri yang sudah jadi tersangka korupsi dilantik oleh Presiden maka itu namanya Kompromi. Alhasil secara definitif kompromi adalah setengah kalah menurut hukum strategi Sun Tzu. Yang fatalnya adalah telah terjadi bunuh diri politik jargon revolusi mental.
Namun bila pada akhirnya calon Kapolri tidak mengundurkan diri dan terpaksa dibatalkan pelantikannya oleh Presiden maka Kemenangan Revolusi baru dimulai yakni dimulainya Keberanian menjunjung tinggi integritas Revolusi Mental. Alhasil, DPR akan mengeluarkan hak angket, hak menyatakan pendapat dan mengajukan pemakzulan ke Mahkamah Konstitusi kemudian nasib Presiden ditentukan oleh sidang paripurna MPR. Keputusan politik di DPR dan MPR mengalahkan keputusan Mahkamah Konstitusi.