Awan putih melayang sendu. Membendung silau berarak perlahan. Sedang di ujung sana hitam menggelayuti. Membangun jejak. Menggiring makhluk untuk menepi.
Ah, kamu selalu begitu. Aku sudah tahu watakmu itu. Tentu tak lama lagi kau akan menangis, bukan. Dan gemuruhmu tentu bersahutan dengan jerit wanita-wanita manja di bawah halte bis seberang sana.
Ah, jerit mereka hanya karena ada pria di sebelahnya saja. Jerit ketakutan yang menanda. Mengundang mesra di tengah dingin yang perlahan membeku. Sedang ketika tak ada sesiapa. Mereka angkuh menantang dan mencaci langitmu.
Dan aku selalu begini. Duduk manis di lantai dua perpustakaan kota. Di penghujung ruang. Sudut kiri sebelah lemari kayu warna merah kelam. Berbatas kaca yang kini perlahan basah.
Dan seperti biasanya pula, sosok manis yang selalu begitu. Duduk anggun dengan buku merah jambu yang akupun tahu judulnya – Cinta Psikopat.
Sebuah nama tercetak putih di kanan bawah sampul buku. Namaku yang tak pernah kau baca di setiap kamis kau berkunjung.
Sedang “namamu” telah tertulis pasti pada halaman depan dan belakang bukuku. Tak lupa pada beberapa lembar di tengah buku yang isinya beberapa lembar. “Namamu” yang tertulis rapi bersama sedikit imajinasi.
Terkadang kita berjalan bersama menerobos riuh suasana kota. Mencemooh kemacetan pasar muara lama. Atau sekedar tersenyum sinis pada kekolotan warga kota yang berpose di pagar air mancur yang baru dibangun penguasa.
Tak lupa pula menikmati sayap ayam sambal balado yang kau suka. Sambil berlesehan di lapangan bekas markas TNI. Tawa renyahmu pun kunikmati perlahan bersama gunjinganmu tentang teman-teman wanitamu yang hingga kini belum mengembalikan ikat rambut yang mereka pinjam darimu.
Dan yang paling kusuka adalah pada halaman sembilan. Saat ketika kau duduk di sudut kanan perpustakaan – tepat berseberangan dariku. Dan aku melangkah mendekatimu. Belum berakhir langkah kaki kau sudah bertanya “apakah kau mau jadi kekasihku?”.
Ya, meski hanya sekedar pada beberapa lembar halaman buku saja. Aku nikmati kebersamaanku denganmu. Akupun telah berjanji pada diriku sendiri. Kebersamaanku denganmu akan ku tulis pada beberapa halaman buku lagi. Karena keberanianku tak sehebat imajinasiku. Bahkan untuk sekedar bertanya siapa namamu. Karena itu, hanya “namamu” yang dapat tertulis dalam setumpuk duniaku.