SITUASI paling tidak mengenakan ketika kendaraan kita ditabrak pengguna jalan lain. Suasana hati jadi keruh. Panik dan emosi. Kepanikan dipicu oleh kondisi tubuh yang terluka, kendaraan yang rusak, dan waktu yang terbuang karena ada urusan penting yang bakal tertunda. Rasa panik kian memuncak bila dibalut rasa sakit, atau situasi lebih buruk. Maut menjemput. Emosi sampai ke ubun-ubun. Manakala komunikasi tersumbat. Akal sehat bersembunyi. Ujungnya anarkis. Selesaikah masalahnya? Saat ditabrak dari belakang, baru-baru ini, emosi saya sempat menggelegak. Marah. Tapi, akal sehat saya mesti mencari prioritas. Menenangkan anak yang terjembab berbarengan dengan saya saat itu. Bocah usia tujuh tahun itu shock. Emosi ditunda. Berbeda dengan delapan tahun lalu. Ketika itu saya terlibat insiden kecelakaan. Massa emosional. Sebagai pemotor, saya menjadi obyek emosional warga. Tanpa ada verifikasi apakah sang penyeberang jalan berkontribusi atas terjadinya insiden. Saat itu, saya coba meredam emosi warga dengan bertanggung jawab membiayai hingga sembuh sang korban. Emosi pun reda. Prioritas menangani korban saat terjadi kecelakaan lalu lintas jalan adalah pilihan logis. Mengurai ketersendatan lalu lintas jalan juga menjadi hal penting ketimbang menyalurkan emosi dengan membabi buta. Upaya menolong korban luka tentu tidak bisa sembarangan. Butuh orang ahli. Karena itu, sesegera mungkin menghubungi petugas medis untuk membantu. Penyelesaian siapa salah dan benar bisa menyusul. Serahkan kepada petugas yang ada. Jika tak ada, upayakan sebisa mungkin dibicarakan. Tentu dengan kepala dingin. Kecuali ada niat tidak ingin bertanggung jawab. Pilihannya adalah melarikan diri. Panik dan emosi saat terlibat kecelakaan lalu lintas jalan mesti dikendalikan. Gunakan logika lebih berfaedah. (edo rusyanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H