Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Petani Duren

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BANYAK penikmat buah durian atau duren. Selain menikmati daging buahnya yang legit, rasa manis sibuah ‘buruk rupa’ bikin banyak orang ketagihan. Tapi, bagi mereka yang tak suka, aromanya yang menyengat saja sudah bikin pusing kepala. Saya termasuk yang suka. Petani duren di Purworejo, Jawa Tengah termasuk yang berjasa memasok buah berbiji itu ke pasar. Saya baru ngeh saat menyaksikan program ‘Tumbuh Jelang Siang’ di siaran televisi swasta Trans, Kamis (5/1/2012) berkisar pukul 12.40-12.50 WIB. “Saat musim panen, petani bisa memetik 50-200 buah per hari,” ujar Yessi Pasha, sang presenter. Dalam tayangan itu disorot bentuk duren dan pohonnya yang rimbun. Buah duren bergelantungan di atas pohon. Saat Yessi hendak melepas helm halfface berwarna merah, sontak sang bapak petani duren berseloroh. “Jangan dicopot, helm untuk antisipasi karena tidak bisa diduga kapan duren jatuh.” Sang bapak bercerita, pernah ada petani yang meninggal akibat ketiban duren. Sang korban tidak memakai helm. Entah karena bergidik atas cerita itu, atau tumbuh kesadaran, Yessi pun kembali memakai helm. Keren. Bayangkan, untuk berada di tengah kebun duren saja, kesadaran sang bapak akan keselamatan demikian besarnya.

Saya menduga, saat bersepeda motor pun, sang bapak memakai helm sebagai perlindungan. Maklum, risiko di jalan raya bakal berkali lipat dibandingkan di dalam kebun. Ada ratusan, bahkan ribuan kendaraan yang wara-wiri. Ada beragam perilaku pengendara. Ada sejumlah pergerakan mendadak yang bisa muncul setiap saat. Ada kondisi infrastruktur jalan yang tak semuanya prima.

Helm sebagai perlindungan kepala saat kita berkendara. Sebuah ikhtiar agar tidak terlibat fatalitas buruk saat ketiban insiden kecelakaan di jalan. Masa gak belajar dari petani duren? (edo rusyanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline