Lihat ke Halaman Asli

Sudah Bejatkah Perilaku Kita?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MASIH saja ada pemandangan seperti ini. Melibas lampu pengatur lalu lintas. Menjarah bahu jalan, zebra cross, dan trotoar. Bahkan, pungli di segala lini. Tanda-tanda apakah ini? Pengamat kebijakan publik sekaligus pengamat ekonomi, Ichsanudin Noorsy, menuding ada persoalan besar di bangsa Indonesia. Khususnya, terkait dengan penghargaan masyarakat terhadap aturan hukum yang ada. Pandangan ekonom kritis tersebut mencuat dalam program Economic Challenges, Metro TV, Senin (7/11/2011) sekitar pukul 22.35 WIB. Dia bilang, ada kerusakan besar dalam bangsa ini. Contoh yang diangkat Ichsanudin adalah ketika lampu lalu lintas jalan berwarna merah, pengendara bukannya berhenti justeru melanggarnya. “Jangankan pria, wanita saja melanggar lampu merah,” papar mantan anggota DPR RI itu. Kerusakan besar yang dimaksud Ichsanudin, terkait dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Kita tahu, kualitas yang andal selain menguasai pengetahuan dan teknologi, tiap individu juga bisa menghargai peraturan yang sudah dibuat. “Bangsa ini tidak punya konsep pendidikan yang jelas soal kesiapan SDM memasuki pasar. Sehingga kalah bersaing,” kata Ichasanudin. Diskusi dalam siaran televisi itu memang tidak khusus mengenai perilaku berkendara masyarakat kita. Hanya saja, kutipan pemikiran yang terlontar menarik perhatian saya. Perilaku berkendara di jalan menjadi refleksi kehidupan masyarakat secara luas. Kehidupan bangsa yang sulit saling menghargai. Egoisme mendarah daging. Pertanyaannya, kenapa? Sebagai awam saya mencoba melihat dari sudut empirik. Di rumah, dari ruang keluarga kita jarang mendapat penanaman perilaku menghargai hukum secara lugas. Semuanya serba abu-abu. Khusus mengenai perilaku berkendara yang aman dan selamat, atau keselamatan jalan, bahkan nyaris tidak. Sekalipun ada, kerap permisif. Boleh jadi karena ketidaktahuan atas peraturan yang ada. Bukan tidak mungkin juga karena rendahnya budaya keselamatan di rumah kita. Di sekolah, ada siswa sekolah dasar yang dianjurkan menyontek agar lulus saat ujian. Di sekolah pula kita mendengar ada kekerasan antara junior dan senior. Di perguruan tinggi kita menjumpai praktik copy paste tugas-tugas kuliah, bahkan materi skripsi. Di kantor, kita melihat bawahan menjilat atasan. Ada fee yang diterima dari supplier. Ada korupsi waktu untuk kesenangan pribadi. (data kasus kecelakaan 2011-2010) Di parlemen, birokrasi, bahkan penegak hukum, ada aroma korupsi. Hotel prodeo disesaki pesakitan yang doyan menenggak nikmat dari penggelembungan anggaran. Tak heran ketika keluar rumah dan bertumpuk di jalan raya, semua seakan meledak. Ingin buru-buru tiba ditujuan. Mencari jalan pintas. Pada gilirannya, melabrak aturan yang ada. Saya termasuk yang optimistis, semua kondisi itu bukanlah budaya masyarakat kita. Bisa diubah. Asal ada kemauan dari semua unsure masyarakat kita. Apakah tidak cukup lebih dari 200 ribu jiwa masyarakat pengguna jalan tewas sia-sia di jalan raya. Belum lagi, lebih dari setengah juta warga menderita luka ringan dan luka berat. Setop. (edo rusyanto)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline