Lihat ke Halaman Asli

Sekolah hanya Mimpi Si Miskin

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

.......untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa......maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia....

Namun cita-cita para pendiri bangsa untuk mencerdaskan rakyatnya sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, kini hanya retorika tanpa wujud nyata. Pendidikan berkeadilan untuk warga miskin tinggal kenangan. Kondisi ini berlangsung sejak era reformasi yang dimaknai oleh para akademisi untuk meliberalkan dan mengkapitalisasi semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Negara gagal menyediakan pendidikan murah bagi rakyat, terutama pendidikan tinggi negeri. Di masa Orde Baru, perguruan tinggi negeri menjadi "tangga" untuk mengubah nasib dan derajat keluarga. Sehingga masa itu orang tua kita punya pemeo : "Tidak apa-apa nak bapak mu cuma tukang macul (buruh cangkul,red) dan tidak berpendidikan sarjana yang penting anakku besok jadi sarjana dan jadi orang."  Begitu kalimat orang tua dahulu ketika bermimpi agar anaknya sukses dalam hidupnya.

Maka ribuan anak-anak muda lulusan SMA kala itu berkompetisi, bersaing dan berjuang keras agar bisa mengenyam pendidikan di PTN ternama karena memang biayanya masih bisa dijangkau orang tua mereka yang hidup pas-pasan. Jangan heran jika di masa Orde Baru, mayoritas PTN ternama diisi anak-anak dari keluarga sederhana, dari keluarga buruh atau tukang cangkul. Jika mampu melalui seleksi ujian masuk, anak-anak muda dari keluarga sederhana itu punya kesempatan menimba ilmu di PTN ternama. Sehingga mereka bisa mengubah nasib keluarganya setelah lulus.

Namun sejak pemerintahan reformasi meliberalkan dan mengkapitalisasi pendidikan tinggi melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional, orientasi PTN bukan lagi "menaikkan derajat" si miskin. Orientasinya sudah berubah mencari uang dan uang dalam bahasa retorikanya demi memajukan kampus yang bersangkutan.

UU Sisdiknas memberikan hak dan kewenangan pada pendidikan tinggi atau universitas negeri berubah menjadi badan hukum milik negara (BHMN), maka orientasi pendidikan bukan lagi berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kampus-kampus ternama tiap tahun terus menaikkan biaya kuliah hingga membuat orang tua berpenghasilan pas-pasan hanya bisa menghela nafas dan tak mampu menyekolahkan anaknya. Setelah lulus cukup bekerja rendahan.,

Seolah berlomba. Kampus negeri ternama dan termasyhur, hampir tiap tahun terus menaikkan biaya pendidikannya. Dimana makin lama makin tak terjangkau bagi warga berpenghasilan pas-pasan. Bahkan saya pernah melihat daftar biaya pendidikan di salah satu PTN ternama cukup "wah" sudah diangka jutaan rupiah per semester. Melihat daftar biaya kuliah per semesternya yang "cukup wah" itu saya merasa terusik. Biaya mahal PTN ternama ini menggambarkan keadilan pendidikan menjadi compang camping.

Pendidikan tinggi hanya dinikmati oleh orang yang mampu saja. Pendidikan tinggi hanya menjadi mimpi panjang bagi rakyat miskin untuk mengubah nasib, namun sulit terwujud.

Akibatnya, keadilan dan pemerataan pendidikan hanya bisa dinikmati oleh orang yang mampu secara finansial. Untuk bisa ikut belajar di PTN ternama itu, tak sekadar modal kemampuan dan kecerdasan saat ikut seleksi masuk perguruan tinggi saja, namun juga harus punya biaya yang cukup.

Beruntung ada seorang makhluk Tuhan yang sangat baik dan namanya harum di kalangan masyarakat. Beliau adalah Bapak Darsono. Dilandasi rasa prihatinnya yang mendalam terhadap ketidak adilan pendidikan. Melihat ribuan lulusan sekolah menengah atas tak mampu melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan mahal. Maka tergerak hatinya untuk membangun kampus yang memberikan layanan pendidikan murah bagi masyarakat.

Pria 57 tahun kelahiran Bantul, Yogyakarta ini mendirikan Universitas Pamulang (Unpam) yang terletak di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Beliau mendirikan kampus murah yang terjangkau rakyat Indonesia. Ia lakukan ini karena ia ingin "balas dendam" terhadap dunia pendidikan yang tak bersahabat dengan orang miskin dari segi biaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline