Lihat ke Halaman Asli

Dualisme Parpol Tinjauan Dari Sisi Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1427512474323677786

Belakangan kepengurusan ganda kembali menerpa partai politik. Elite partai saling menggelar muktamar atau musyawarah versi masing-masing kubu yang ujung-ujungnya merebut kursi kepengurusan, baik ketua umum maupun personalia partai. Yang terjadi kemudian, masing-masing muktamar atau musyawarah menyusun kepengurusan dan mengklaim susunan kepengurusan mereka yang paling sah.

Apalagi dalam UU Parpol ada ketentuan setiap partai politik harus mendaftarkan akta kepengurusannya kepada Kementrian Hukum dan HAM. Maka para elit yang sedang bertikai ini selain mencari keabsahan melalui gugatan pengadilan negeri dan PTUN, juga meminta pengakuan dari Menteri Hukum dan HAM.

Perpecahan di internal tubuh parpol bukan kali ini saja terjadi. Perpecahan partai politik terjadi sejak tahun 1955 ketika partai-partai Islam dan nasionalis terpecah menjadi dua kubu. Pada era Orde Baru semua partai dikonsolidasikan hingga hanya ada tiga partai politik, yakni Golkar, PPP, dan PDI. Namun, di penghujung Orde Baru, perpecahan partai kembali terjadi saat Partai Demokrasi Indonesia menggelar dua kali kongres. Kongres pertama di Bali yang memenangkan Megawati sebagai ketua umum dan kongres kedua atau tandingan digelar di Medan dan memenangkan Soerjadi sebagai ketua umum.

Pemerintahan Orde Baru saat itu hanya mengakui kepengurusan PDI versi Soerjadi. Namun sikap pemerintah yang lebih berat sebelah dan condong mendukung PDI versi Soerjadi mendapat perlawanan dari kader partai di level bawah. Akibatnya PDI saat itu carut-marut.

Dan di era pemerintahan Jokowi, perpecahan dan kepengurusan ganda partai politik kembali terjadi. Seperti mengulang sejarah, dua kubu saling menggelar muktamar atau musyawarah. Kali ini perpecahan dan kepengurusan ganda terjadi pada Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Masing-masing elite partai menggelar pemilihan ketua umumnya versi masing-masing. Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmusy menggelar muktamar di Surabaya. Muktamar yang melahirkan Romahurmusy sebagai ketua umum, diklaim paling sah dan mereka langsung mendaftarkan hasil muktamarnya ke Menkumham untuk mendapatkan legitimasi dari pemerintah.

Sementara Ketua Umum PPP Suryadarma Ali juga menggelar muktamar di Jakarta dan melahirkan Djan Faridz sebagai ketua umum. Mereka juga mengklaim kepengurusannya paling sah.

Nasib yang sama juga menerpa Partai Golkar. Di internal partai yang pernah berkuasa di era Orde Baru ini muncul dua kongres. Satu kongres digelar ketua umumnya Aburizal Bakrie di Bali dengan memenangkan Aburizal sebagai ketua umum. Sementara elite Golkar yang lain, yakni Wakil Ketua Umum Agung Laksono, Ketua DPP Priyo Budi Santoso dan Ketua DPP Agus Gumiwang Kartasasmita dan beberapa pengurus teras Partai Golkar menggelar Kongres versi mereka di Ancol Jakarta. Dan kongres itu juga melahirkan kepengurusan baru di bawah ketua umumnya Agung Laksono.

Akibat adanya dualisme kongres ini kemudian melahirkan kepengurusan ganda di tubuh partai tersebut. Masing-masing kubu mengklaim merekalah yang paling sah, paling sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, dan paling legitimate. Lantas mana dari kepengurusan ganda ini yang paling sah.

Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menelaah dari aspek politik namun saya akan membedahnya dari aspek tinjauan hukum. Karena aspek hukum lebih mengedepankan legitimasi yang sah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline