"Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum" -M.A.W.Brouwer"
Setelah beberapa hari di Jakarta,penulis dan istri berangkat ke Bandung melalui stasiun kereta Halim. Tentu ini adalah perjalanan perdana ke Bandung dengan menaiki kereta cepat. Bermodalkan "tanya" kepada petugas akhirnya kami dengan lancar membeli tiket tersebut. Terdapat berbagai varian kelas untuk kereta cepat, diantaranya :
1. First Class,Rp. 600.000.
2. Kelas Bisnis, Rp. 450.000.
3. Kelas Ekonomi Premium, Rp. 200.000.
Sebagai traveller pemula penulis dan istri pun mengambil Kelas Ekonomi Premium dengan memilih jam 13.02 WIB dengan tujuan stasiun Tegalluar. Menurut informasi yang penulis dapatkan jika ke Bandung melalui jalur darat dengan transportasi mobil akan memakan waktu sekitar 2- 3 jam. Tetapi jika menggunakan kereta cepat hanya memakan waktu sekitar 46 menit. Sungguh efisien sekali.
Petugas yang ramah dan selalu tersenyum menyertai kami hingga sampai duduk didalam kereta cepat tersebut. Bersih dan elegan pun menjadi santapan pandangan pertama ketika sudah didalamnya. Kereta cepat ini memiliki kecepatan maksimal 355 km/ perjam. Hingga penulis berkhayal, andai saja Kalimantan mempunyai jalur kereta cepat seperti ini maka sungguh sangat efisien sekali perjalanan. Walaupun penulis sadari dalam mengatur jalannya lalu lintas negara harus ada yang lebih diprioritaskan.
Tidak terasa jam menunjukkan 13.48 WIB menandakan kami sudah sampai stasiun Tegalluar. Kami pun memesan Gocar, dengan merogoh kocek sekitar Rp. 98.000 kami pun diantarkan sampai di wilayah Braga. Penulis memilih Braga menjadi tempat tujuan karena disana banyak tempat bersejarah yang harus didatangi , kurang afdhol rasanya jika sudah tiba di Bandung tidak menuju kesana.
Hotel Savoy Homan
Penulis pun menjatuhkan pilihan kepada hotel Savoy Homan. Diwilayah ini hotel pun bersejarah karena terkait peristiwa konferensi Asia-Afrika. Untuk semalam menginap di hotel Savoy Homan, penulis harus merogoh kocek Rp. 900.000. Ketika hendak menuju kamar, penulis melihat sebuah benda bersejarah yakni sebuah daftar hadir peserta konferensi Asia-Afrika 1955 yang dipajang di lobby hotel tersebut. Sungguh konferensi Asia Afrika itu menjadi salah satu dari titik pijakan arah Indonesia yang mengutamakan kedamaian antar negara dan tidak memihak kepada siapapun atau bisa disebut dengan Non Blok.
Didepan hotel pun terdapat batu yang bertuliskan mengenai Dasasila. Menurut penulis Dasasila inilah yang membuat Bandung menjadi promotor dalam mengumandangkan pentingnya cinta untuk siapapun tanpa mengenal diskriminasi. Untuk lebih lengkapnya silahkan pembaca searching isi lautan cinta Dasasila tersebut.